Kelahiran buah hati yang sehat dan normal selalu
menjadi peristiwa yang sangat ditunggu setiap pasangan suami istri. Apalagi
jika diketahui janin yang akan dilahirkan adalah sepasang bayi kembar. Perasaan
bahagia akan dirasakan setiap orang tua yang mengalaminya. Tetapi apa yang
terjadi jika kehamilan kembar yang mereka alami bukanlah kehamilan kembar
biasa. Bukan sekedar masalah posisi janin yang sungsang misalnya. Melainkan
sebuah kasus kehamilan kembar siam alias janin yang dikandung ada dalam keadaan
saling melekat. Tentunya tak ada seorang pun yang menginginkan peristiwa itu
terjadi.
Sayangnya kejadian kehamilan kembar siam atau kembar
dempet ini tidak dapat diprediksi secara nyata. Kasus kembar siam terjadi
setiap 1 : 200.000 kelahiran. Kasus ini tidak dibatasi oleh ras atau grup etnis
tertentu. Jadi, semua pasangan suami istri dapat saja mengalaminya.
Kembar siam biasanya termasuk ke dalam kategori kembar
monozigotik atau identik. Hal itu berarti satu sel telur yang telah dibuahi
sperma akan membentuk satu zigot. Dalam perkembangannya, zigot tersebut
membelah menjadi embrio yang berbeda. Sempurna tidaknya proses pembelahan ini
akan berpengaruh pada kondisi bayi yang kelak dilahirkan. Menurut Lester Reynold
Dragstedt, seorang ahli bedah dari University
of Florida, faktor lingkungan, kekurangan suplai darah dan terjadinya
infeksi dapat memperbesar kemungkinan terbentuknya kembar siam.
Berbagai teori tentang terbentuknya bayi kembar siam
ini mulai bermunculan. Teori pertama yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
teori yang dikemukakan oleh Zimmerman (1967). Ia mengemukakan
teori fisi. Teori ini menjelaskan bahwa kembar siam terjadi karena pembelahan
tidak sempurna pada zigot tunggal.
Tepatnya saat terjadi blastogenesis, yaitu dua minggu pertama setelah sel telur
dibuahi.
Masa pembelahan sel telur dapat dibagi ke dalam empat waktu, yaitu 0 – 72 jam, 4 – 8 hari, 9-12 hari dan 13 hari
atau lebih. Pada pembelahan 0 – 72 jam akan terbentuk diamniotik
(rahim memiliki dua selaput ketuban), dan dikorionik (rahim punya
dua plasenta). Sedangkan pada pembelahan 4 – 8 jam, selaput ketuban tetap dua, tetapi rahim hanya memiliki satu plasenta.
Pada kondisi ini, salah satu janin nantinya bisa mendapat banyak nutrisi, sementara lainnya tidak. Akibatnya, perkembangan janin bisa terhambat.
Pada kondisi ini, salah satu janin nantinya bisa mendapat banyak nutrisi, sementara lainnya tidak. Akibatnya, perkembangan janin bisa terhambat.
Pada pembelahan ketiga, selaput ketuban dan
plasenta masing-masing hanya sebuah, tetapi masih dapat membelah dengan
baik. Pada pembelahan keempat, rahim hanya memiliki satu plasenta dan satu selaput ketuban sehingga kemungkinan terjadinya kembar siam cukup
besar. Pasalnya waktu pembelahan terjadi terlalu lama sehingga sel telur terlanjur bersatu. Jadi, kembar siam biasanya terjadi pada monozigot yang
pembelahannya lebih dari 13 hari.
Sekitar tahun 2000, Rowena Spencer, seorang ahli bedah
anak dari Amerika, mengemukakan teori fusi.
Rowena telah mempelajari kurang lebih 1300 kasus kembar siam dalam kurum waktu
50 tahun berkarir di dunia kedokteran. Teori ini menjelaskan bahwa
embrio akan saling melekat setelah sel telur yang dibuahi berkembang menjadi
kembar identik. Saat
masing-masing embrio terletak berdampingan pada dinding uterus, kedua embrio
tersebut mulai bergabung satu sama lain.
Seperti
telah diketahui, pada tahap awal perkembangan embrio manusia, sel terdiri dari
3 lapisan utama yaitu ektoderm, mesoderm dan endoderm. Setiap sel akan
“mencari” tipenya masing-masing, kemudian bergabung untuk membentuk organ. Ketika bakal embrio kembar yang baru saja terpisah ini
terletak berdampingan, terkadang menyebabkan munculnya sinyal yang salah. Sel
dari setiap lapisan akan mulai bergabung dengan sel satu tipe, tetapi ia salah
mengidentifikasi lokasinya. Sel tersebut malah bergabung dengan sel bertipe
sama dari embrio yang berbeda.
Kembar siam umumnya dialami oleh dua embrio yang tidak
berkembang sempurna. Tetapi Rowena Spencer, dalam bukunya yang berjudul Conjoined twins : Developmental
Malformations and Clinical Implications, menyebutkan bahwa kembar siam tiga
atau triplet bahkan quadruplet mungkin saja terjadi. Hal itu ditegaskan kembali
dalam sebuah artikel pada The American
Journal of Obstetrics and Gynecology tahun 2004. Artikel mengemukakan
sebuah kasus kembar siam triplet. Artikel ini memberikan sebuah kesimpulan
bahwa kembar siam triplet mungkin saja terjadi meskipun sangat jarang dan
biasanya tidak dapat bertahan hidup lama.
Dari semua kelahiran kembar siam, diyakini tak lebih dari
12 pasangan kembar siam yang hidup di dunia. Saat dilahirkan kebanyakan kembar
siam sudah dalam keadaan meninggal dan yang lahir hidup hanya sekitar 40
persen. Dari mereka yang lahir hidup, 75 persen meninggal pada hari-hari
pertama dilahirkan dan hanya 25 persen yang benar-benar bertahan hidup. Itu pun
sering kali disertai dengan cacat bawaan.
Pasangan kembar siam yang mampu bertahan hidup tidak
semuanya dapat dipisahkan. Proses pemisahan melalui operasi adalah sesuatu yang
sangat beresiko, terutama pada kasus-kasus ekstrim seperti dicephalus (dua kepala satu tubuh). Keputusan memisahkan pasangan
kembar siam akan relatif mudah dilakukan jika dokter bisa menjamin keselamatan kedua
bayi. Misalnya karena masing-masing bayi memiliki organ vital dan ekstremitas
yang lengkap. Salah satu contoh adalah kasus kembar siam tipe xiphopagus (bagian dada melekat satu
sama lain, terhubung oleh sedikit jaringan tulang rawan).
Menurut Dr. Devra Becker, seorang ahli bedah plastik dari
Cleveland, proses pengambilan keputusan operasi pemisahan suatu pasangan kembar
siam bukanlah hal mudah. Semua itu erat kaitannya dengan aspek agama, budaya,
moral dan prinsip-prinsip dalam kode etik kedokteran. Salah satunya adalah ada tidaknya informasi
persetujuan dari pihak yang bersangkutan dan sumpah dokter untuk menyembuhkan
dan menghindari kondisi membahayakan bagi pasiennya.
Keputusan pemisahan pasangan kembar siam atau sebaliknya
tetap mempertahankan kondisi si bayi apa adanya, akan mengandung resiko yang
sama besarnya. Kedua hal itu sama-sama dapat memberikan pengaruh negatif pada
si pasangan kembar siam. Tidak ada langkah untuk mencegah kembar siam ini
terjadi. Yang dapat dilakukan pasangan suami istri adalah selalu menjaga
kesehatan dan memeriksakan diri secara teratur ketika si istri diketahui tengah
hamil. Deteksi dini penting dilakukan untuk menentukan langkah selanjutnya.*** Laksmi Priti Manohara/Pikiran Rakyat 29 Maret 2012
No comments:
Post a Comment