LAHIRNYA bayi tabung dari pasangan Yuli
Setiawati dan dr. Ristio Budianto telah menorehkan sejarah baru dalam bidang
kedokteran di Jawa Barat (Pikiran Rakyat,
11 Februari 2006). Kelahiran bayi
berjenis kelamin laki-laki ini merupakan hasil kerja keras dari seluruh
anggota tim dokter dan embriolog program bayi tabung di klinik Aster RS dr. Hasan
Sadikin Bandung.
Proses bayi tabung biasanya tak lepas dari
teknik penyimpanan embrio. Teknik penyimpanan embrio manusia saat ini telah
menjadi suatu metode yang dapat diterima dan banyak dikembangkan dalam bidang
kedokteran. Teknik ini lebih dikenal dengan istilah embryo freezing atau lebih umum dinamakan cryopreservasi embrio
(cryo = suhu rendah; preservasi = pengawetan).
Teknik cryopreservasi embrio manusia telah banyak
dilakukan di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia, terutama di
klinik-klinik bayi tabung yang tersebar di Jakarta, Bandung, Surabaya,
Yogyakarta, dan Bali. Teknik ini memungkinkan embrio yang biasanya berada pada
fase awal pembelahan sel sampai dengan fase blastosis (1-5 hari setelah
pembuahan) disimpan dengan cara dibekukan dalam sebuah tabung yang berisi
nitrogen cair bersuhu –196oC. Embrio ini kemudian dapat ditransfer
sewaktu-waktu ke dalam rahim sang istri pada siklus ovulasi normalnya.
Pada awalnya, teknik cryopreservasi secara luas
banyak diterapkan untuk membekukan sel telur, sperma, dan jaringan-jaringan
tubuh lainnya untuk kepentingan penggunaan di kemudian hari. Teknik
cryopreservasi embrio manusia merupakan teknologi yang dapat membawa pencerahan
bagi pasangan-pasangan infertil di seluruh dunia yang mendambakan keturunan. Meskipun
demikian, adanya kepedulian dari segi etika dapat menimbulkan isu yang cukup
serius dan memunculkan banyak pandangan bersifat pro maupun kontra. Satu hal
yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
“Adalah hak setiap manusia untuk bebas dari
penyakit infertilitas dan hidup sehat. Adalah tanggung jawab kemanusiaan untuk
membebaskan seseorang atau kelompok orang dari penyakit”. Demikian penuturan mantan
Menteri Kesehatan RI, Farid A. Moeloek dalam kuliah umum Temu Ilmiah I
Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Buatan di Bandung tahun 2002 lalu. Artinya,
sah-sah saja apabila seseorang memilih jalan tertentu untuk memperbaiki status
kesehatannya. Dalam hal ini seseorang tersebut bebas menentukan program
kesehatan seperti apa yang akan dijalaninya kemudian.
***
Terdapat sejumlah dilema etika dan hukum serta
sikap profesi seorang dokter dalam program bayi tabung, khususnya mengenai
teknik cryopreservasi embrio manusia hingga menjadi sangat kompleks.
Program bayi tabung nampaknya merupakan titik
awal terbukanya peluang dikembangkannya teknik cryopreservasi pada embrio
manusia. Terutama sejak lahirnya Louis Brown, 25 Juli 1978 lalu, dari pasangan
suami istri asal Inggris, Lesley dan John Brown. Kelahiran Louis Brown ke dunia
adalah bukti bahwa teknik pembuahan antara sel telur dan sel sperma di luar
tubuh (in vitro) bukan suatu hal yang mustahil lagi untuk dilakukan.
Metode cryopreservasi embrio manusia ini adalah
salah satu cara yang dilakukan para dokter dan embriolog untuk meningkatkan
persentase keberhasilan program bayi tabung yang saat ini sudah mencapai 30 –
40%. Sebelumnya telah dikenal metode Injeksi Sperma Intra Sitoplasma (Intra Cytoplasmic Sperm Injection/ICSI),
aspirasi sperma melalui pembedahan mikro saluran epididimis ((Microsurgical Epididymal Sperm Aspiration/MESA),
transfer blastosis, dan pematangan sel telur secara in vitro.
Kegagalan atau keberhasilan suatu tahapan dalam
program bayi tabung memang tidak bisa diramalkan. Bahkan para dokter dan
embriolog yang paling ahli sekalipun tidak dapat menjamin program tersebut
berjalan sukses 100%. Program ini memakan biaya tidak sedikit. Biaya minimum
yang harus dikeluarkan oleh pasutri (pasangan suami istri) untuk mengikuti
program bayi tabung bisa mencapai puluhan juta rupiah untuk satu kali
kesempatan. Beruntung bagi pasutri yang dananya mencukupi karena pengulangan dua
sampai tiga kali kesempatan mungkin bukan masalah. Namun, akan menjadi masalah
jika dana yang tersedia terbatas dan program bayi tabung yang dijalani tak
kunjung berhasil. Di samping itu, kemungkinan terjadinya Sindrom Hiperstimulasi
Ovarium (Ovarian Hyperstimulation
Syndrome/OHSS) akibat perangsangan berlebihan terhadap ovarium untuk
menghasilkan sel telur lebih banyak dari biasanya (superovulasi) dapat membawa
efek cukup serius. Belum lagi tekanan mental yang harus dihadapi oleh pasutri,
terutama pihak istri, jika program tidak berjalan mulus.
Dengan dilatarbelakangi oleh hal-hal inilah,
maka dapat dikatakan bahwa kemampuan menyimpan embrio dengan teknik
cryopreservasi merupakan jalan pintas dalam program bayi tabung. Sang istri
tidak perlu lagi menjalani kembali tiga tahapan awal yang melelahkan dan
memakan banyak biaya yakni tahap induksi ovulasi, pengumpulan sel telur, dan
tahap fertilisasi atau pembuahan. Teknik ini juga sering dipertimbangkan untuk
diterapkan setelah muncul pertanyaan apa yang akan dilakukan terhadap embrio
sisa yang tidak digunakan. Karena biasanya dari 8 – 10 embrio yang dihasilkan,
dokter hanya akan mentransfer 3 – 4 embrio terbaik ke dalam rahim. Dengan
pertimbangan agar tidak terjadi kehamilan dalam jumlah banyak (multiple pregnancies) yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya abnormalitas janin yang dikandung.
Kehamilan pertama dari embrio yang sudah
dibekukan terjadi pada tahun 1983 di Eropa, diikuti dengan kehamilan-kehamilan
berikutnya. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun pada tahun 1997, lebih dari
18,6% dari 71.826 kasus Teknologi Reproduksi Terbantu (Assisted Reproductive Technology/ART), telah dilahirkan bayi hasil
teknik cryopreservasi ini.
***
Terlepas dari semua keberhasilan, keunggulan,
maupun keistimewaan teknik cryopreservasi dan sumbangsihnya pada ilmu
pengetahuan serta teknologi kedokteran selama ini, agaknya masih menyisakan
serentetan pertanyaan yang cukup mengganggu. Misalnya, apa yang harus dilakukan
jika salah satu pasangan meninggal dunia atau bercerai. Atau, bagaimana pula
jika pasutri tidak peduli lagi dengan embrio sisa tersebut, misalnya karena sudah
cukup puas dengan keberhasilan kehamilan pertamanya. Sampai kapan pula embrio
boleh disimpan. Apakah memungkinkan jika embrio-embrio tersebut didonorkan saja
ke pasangan infertil lain, sehingga usaha yang telah dilakukan tidak terkesan
sia-sia. Jelas harus ada suatu kebijakan yang mengatur hal tersebut.
Di luar negeri, mendonorkan embrio sisa kepada
pasangan infertil lain bukan suatu masalah besar. Penerapan kebijakannya agak
sedikit lebih longgar. Berbeda dengan di luar negeri, di Indonesia, hal-hal
tersebut tidak diperkenankan. Untuk menerapkan suatu kebijakan atau peraturan
baku mengenai hal itu, pertimbangannya tidak hanya dari segi medis, tetapi juga
dari segi etika dan hukum agama yang berlaku.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang menyinggung masalah ini. Dalam Undang Undang
nomor 23 pasal 16 tahun 1992 tentang kesehatan disebutkan, hasil pembuahan
sperma dan sel telur di luar cara alami dari suami atau istri yang bersangkutan harus ditanamkan
dalam rahim istri dari mana sel telur itu berasal. Hal ini menjawab pertanyaan
tentang kemungkinan dilakukannya pendonoran embrio.
Dengan teknik cryopreservasi, selama proses penyimpanan
dalam tabung berisi nitrogen cair, embrio tidak akan mengalami aktivitas
biologi sehingga dapat disimpan bertahun-tahun tanpa mempengaruhi kualitasnya.
Belakangan ini dikeluarkan suatu peraturan yang membatasi lama penyimpanan.
Yaitu, embrio dapat disimpan maksimal lima tahun. Setelah lima tahun, pasutri
akan dihadapkan kembali pada pertanyaan apa yang akan mereka lakukan terhadap
embrio “simpanannya” itu.
Jika mengacu pada UU Kesehatan nomor 23, upaya
pendonoran jelas tidak mungkin. Bagaimana jika usia istri sudah masuk ke dalam
usia beresiko tinggi untuk hamil. Atau bahkan sudah memasuki usia menopause.
Apakah embrio itu akan dibuang atau dimusnahkan saja.
Pertanyaan terakhir ini menyeret kita pada hal
yang sangat sensitif. Pernahkah terlintas di benak kita bahwa sekumpulan sel
yang tampaknya “tidak berarti” itu bisa menjadi “berarti” setelah ditanam di
dalam rahim. Suatu saat ia akan tumbuh dan berkembang menjadi seorang anak
manusia. Apakah bukan berarti kita telah lancang mencoba berperan sebagai Tuhan
yang dapat menentukan nasib suatu bakal makhluk hidup.
Inggris merupakan negara pertama yang mempunyai
peraturan mengenai teknologi program bayi tabung. Pada tahun 1982 dibentuk
komisi yang disebut Committee of Enquiry
into Human Fertilisation and Embriology (CEHFE) yang dipimpin oleh Dame
Mary Warnock. Selanjutnya pada tahun 1990 dibentuk suatu badan independen Human Fertilisation and Embriology Authority
(HFEA). Badan ini memiliki wewenang sebagai penasihat dan pelaksana teknologi
bayi tabung. Salah satu kebijakan HFEA menyinggung masalah cryopreservasi
embrio manusia. Proses ini tidak boleh dilakukan jika embrio sudah berumur
lebih dari 14 hari.
Hasil lokakarya mengenai teknologi bayi tabung
yang dikemukakan oleh The International
Islamic Center for Population Studies and Research di Universitas Al-Azhar,
Kairo, Mesir, November 2000 lalu sama sekali tak melarang program bayi tabung.
Sayangnya, lokakarya itu tidak secara khusus menyebutkan kebijakan tentang
cryopreservasi embrio manusia.
Di Indonesia, mengenai teknik cryopreservasi
embrio manusia tidak secara lugas tercantum dalam Undang Undang Kesehatan no.
23 tahun 1992. Akan tetapi, masalah itu sedikit disinggung dalam Pedoman
Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan
Swasta, Depkes RI tahun 2000. Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa sel telur
manusia yang dibuahi spermatozoa manusia tidak boleh dibiak in vitro lebih dari
14 hari (tidak termasuk hari-hari penyimpanan dalam suhu yang sangat rendah).
Inti dari semua hal tersebut, apakah pernyataan-pernyataan
kebijakan/peraturan mengenai teknik cryopreservasi di atas dapat dijadikan
pegangan yang mantap dalam mengambil keputusan dan melegalkan penyimpanan
embrio sisa yang belum digunakan atau yang nantinya dapat saja dimusnahkan? Keputusan terakhir agaknya berada di pihak pasutri
yang telah menyetujui mengikuti tahap cryopreservasi dalam program bayi tabung.
Hanya mereka yang memiliki hak untuk menentukan yang terbaik sesuai dengan keyakinannnya.
Terkecuali, karena satu dan lain hal mereka tidak memiliki kemampuan untuk
mengambil keputusan, misalnya karena meninggal dunia atau sudah tidak diketahui
lagi keberadaanya. Jika hal itu terjadi, maka pihak tim yang menangani program
bayi tabunglah yang menentukan keputusannya.
Atas dasar tersebut, biasanya sudah dibicarakan
antara tim dokter dengan pasutri secara terbuka pada awal program. Berbagai kemungkinan
yang akan terjadi selama proses pembekuan berlangsung dan konsekuensi yang akan
dihadapi di kemudian hari adalah salah satu bahasan yang akan dikemukakan.
Biasanya, dokter akan menyodorkan surat kesepakatan mengenai hal tersebut agar
semuanya menjadi jelas. Ada hitam di atas putih.
Tampaknya hal ini akan tetap menjadi suatu
dilema. Di satu pihak, teknik cryopreservasi embrio manusia merupakan suatu
titik terang dalam ilmu kedokteran yang dapat membantu penyelesaian masalah
infertilitas. Pihak lainnya memandang masalah ini dapat menimbulkan perdebatan
panjang yang tidak ada habis-habisnya, baik di kalangan masyarakat, ulama, dan
dunia kedokteran. Sangatlah wajar jika terbersit pertanyaan apakah tindakan
yang diambil selama ini sudah tepat atau tidak. Memang, perkembangan ilmu
pengetahuan tak selamanya dapat berjalan seiring dengan masalah etika.***R.A.
Laksmi Priti Manohara/Pikiran Rakyat 2 Maret 2006
No comments:
Post a Comment