Labels

Sunday 26 May 2013

Cryopreservasi Embrio Manusia Teknologi vs Dilema Etika


LAHIRNYA bayi tabung dari pasangan Yuli Setiawati dan dr. Ristio Budianto telah menorehkan sejarah baru dalam bidang kedokteran di Jawa Barat (Pikiran Rakyat, 11 Februari 2006). Kelahiran bayi  berjenis kelamin laki-laki ini merupakan hasil kerja keras dari seluruh anggota tim dokter dan embriolog program bayi tabung di klinik Aster RS dr. Hasan Sadikin Bandung.
Proses bayi tabung biasanya tak lepas dari teknik penyimpanan embrio. Teknik penyimpanan embrio manusia saat ini telah menjadi suatu metode yang dapat diterima dan banyak dikembangkan dalam bidang kedokteran. Teknik ini lebih dikenal dengan istilah embryo freezing atau lebih umum dinamakan cryopreservasi embrio (cryo = suhu rendah; preservasi = pengawetan).
Teknik cryopreservasi embrio manusia telah banyak dilakukan di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia, terutama di klinik-klinik bayi tabung yang tersebar di Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan Bali. Teknik ini memungkinkan embrio yang biasanya berada pada fase awal pembelahan sel sampai dengan fase blastosis (1-5 hari setelah pembuahan) disimpan dengan cara dibekukan dalam sebuah tabung yang berisi nitrogen cair bersuhu –196oC. Embrio ini kemudian dapat ditransfer sewaktu-waktu ke dalam rahim sang istri pada siklus ovulasi normalnya.
Pada awalnya, teknik cryopreservasi secara luas banyak diterapkan untuk membekukan sel telur, sperma, dan jaringan-jaringan tubuh lainnya untuk kepentingan penggunaan di kemudian hari. Teknik cryopreservasi embrio manusia merupakan teknologi yang dapat membawa pencerahan bagi pasangan-pasangan infertil di seluruh dunia yang mendambakan keturunan. Meskipun demikian, adanya kepedulian dari segi etika dapat menimbulkan isu yang cukup serius dan memunculkan banyak pandangan bersifat pro maupun kontra. Satu hal yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

“Adalah hak setiap manusia untuk bebas dari penyakit infertilitas dan hidup sehat. Adalah tanggung jawab kemanusiaan untuk membebaskan seseorang atau kelompok orang dari penyakit”. Demikian penuturan mantan Menteri Kesehatan RI, Farid A. Moeloek dalam kuliah umum Temu Ilmiah I Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Buatan di Bandung tahun 2002 lalu. Artinya, sah-sah saja apabila seseorang memilih jalan tertentu untuk memperbaiki status kesehatannya. Dalam hal ini seseorang tersebut bebas menentukan program kesehatan seperti apa yang akan dijalaninya kemudian.
***
Terdapat sejumlah dilema etika dan hukum serta sikap profesi seorang dokter dalam program bayi tabung, khususnya mengenai teknik cryopreservasi embrio manusia hingga menjadi sangat kompleks.
Program bayi tabung nampaknya merupakan titik awal terbukanya peluang dikembangkannya teknik cryopreservasi pada embrio manusia. Terutama sejak lahirnya Louis Brown, 25 Juli 1978 lalu, dari pasangan suami istri asal Inggris, Lesley dan John Brown. Kelahiran Louis Brown ke dunia adalah bukti bahwa teknik pembuahan antara sel telur dan sel sperma di luar tubuh (in vitro) bukan suatu hal yang mustahil lagi untuk dilakukan.
Metode cryopreservasi embrio manusia ini adalah salah satu cara yang dilakukan para dokter dan embriolog untuk meningkatkan persentase keberhasilan program bayi tabung yang saat ini sudah mencapai 30 – 40%. Sebelumnya telah dikenal metode Injeksi Sperma Intra Sitoplasma (Intra Cytoplasmic Sperm Injection/ICSI), aspirasi sperma melalui pembedahan mikro saluran epididimis ((Microsurgical Epididymal Sperm Aspiration/MESA), transfer blastosis, dan pematangan sel telur secara in vitro.
Kegagalan atau keberhasilan suatu tahapan dalam program bayi tabung memang tidak bisa diramalkan. Bahkan para dokter dan embriolog yang paling ahli sekalipun tidak dapat menjamin program tersebut berjalan sukses 100%. Program ini memakan biaya tidak sedikit. Biaya minimum yang harus dikeluarkan oleh pasutri (pasangan suami istri) untuk mengikuti program bayi tabung bisa mencapai puluhan juta rupiah untuk satu kali kesempatan. Beruntung bagi pasutri yang dananya mencukupi karena pengulangan dua sampai tiga kali kesempatan mungkin bukan masalah. Namun, akan menjadi masalah jika dana yang tersedia terbatas dan program bayi tabung yang dijalani tak kunjung berhasil. Di samping itu, kemungkinan terjadinya Sindrom Hiperstimulasi Ovarium (Ovarian Hyperstimulation Syndrome/OHSS) akibat perangsangan berlebihan terhadap ovarium untuk menghasilkan sel telur lebih banyak dari biasanya (superovulasi) dapat membawa efek cukup serius. Belum lagi tekanan mental yang harus dihadapi oleh pasutri, terutama pihak istri, jika program tidak berjalan mulus.
Dengan dilatarbelakangi oleh hal-hal inilah, maka dapat dikatakan bahwa kemampuan menyimpan embrio dengan teknik cryopreservasi merupakan jalan pintas dalam program bayi tabung. Sang istri tidak perlu lagi menjalani kembali tiga tahapan awal yang melelahkan dan memakan banyak biaya yakni tahap induksi ovulasi, pengumpulan sel telur, dan tahap fertilisasi atau pembuahan. Teknik ini juga sering dipertimbangkan untuk diterapkan setelah muncul pertanyaan apa yang akan dilakukan terhadap embrio sisa yang tidak digunakan. Karena biasanya dari 8 – 10 embrio yang dihasilkan, dokter hanya akan mentransfer 3 – 4 embrio terbaik ke dalam rahim. Dengan pertimbangan agar tidak terjadi kehamilan dalam jumlah banyak (multiple pregnancies) yang dapat meningkatkan risiko terjadinya abnormalitas janin yang dikandung.
Kehamilan pertama dari embrio yang sudah dibekukan terjadi pada tahun 1983 di Eropa, diikuti dengan kehamilan-kehamilan berikutnya. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun pada tahun 1997, lebih dari 18,6% dari 71.826 kasus Teknologi Reproduksi Terbantu (Assisted Reproductive Technology/ART), telah dilahirkan bayi hasil teknik cryopreservasi ini.
***
Terlepas dari semua keberhasilan, keunggulan, maupun keistimewaan teknik cryopreservasi dan sumbangsihnya pada ilmu pengetahuan serta teknologi kedokteran selama ini, agaknya masih menyisakan serentetan pertanyaan yang cukup mengganggu. Misalnya, apa yang harus dilakukan jika salah satu pasangan meninggal dunia atau bercerai. Atau, bagaimana pula jika pasutri tidak peduli lagi dengan embrio sisa tersebut, misalnya karena sudah cukup puas dengan keberhasilan kehamilan pertamanya. Sampai kapan pula embrio boleh disimpan. Apakah memungkinkan jika embrio-embrio tersebut didonorkan saja ke pasangan infertil lain, sehingga usaha yang telah dilakukan tidak terkesan sia-sia. Jelas harus ada suatu kebijakan yang mengatur hal tersebut.
Di luar negeri, mendonorkan embrio sisa kepada pasangan infertil lain bukan suatu masalah besar. Penerapan kebijakannya agak sedikit lebih longgar. Berbeda dengan di luar negeri, di Indonesia, hal-hal tersebut tidak diperkenankan. Untuk menerapkan suatu kebijakan atau peraturan baku mengenai hal itu, pertimbangannya tidak hanya dari segi medis, tetapi juga dari segi etika dan hukum agama yang berlaku.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang menyinggung masalah ini. Dalam Undang Undang nomor 23 pasal 16 tahun 1992 tentang kesehatan disebutkan, hasil pembuahan sperma dan sel telur di luar cara alami dari suami  atau istri yang bersangkutan harus ditanamkan dalam rahim istri dari mana sel telur itu berasal. Hal ini menjawab pertanyaan tentang kemungkinan dilakukannya pendonoran embrio.
Dengan teknik cryopreservasi, selama proses penyimpanan dalam tabung berisi nitrogen cair, embrio tidak akan mengalami aktivitas biologi sehingga dapat disimpan bertahun-tahun tanpa mempengaruhi kualitasnya. Belakangan ini dikeluarkan suatu peraturan yang membatasi lama penyimpanan. Yaitu, embrio dapat disimpan maksimal lima tahun. Setelah lima tahun, pasutri akan dihadapkan kembali pada pertanyaan apa yang akan mereka lakukan terhadap embrio “simpanannya” itu.
Jika mengacu pada UU Kesehatan nomor 23, upaya pendonoran jelas tidak mungkin. Bagaimana jika usia istri sudah masuk ke dalam usia beresiko tinggi untuk hamil. Atau bahkan sudah memasuki usia menopause. Apakah embrio itu akan dibuang atau dimusnahkan saja.
Pertanyaan terakhir ini menyeret kita pada hal yang sangat sensitif. Pernahkah terlintas di benak kita bahwa sekumpulan sel yang tampaknya “tidak berarti” itu bisa menjadi “berarti” setelah ditanam di dalam rahim. Suatu saat ia akan tumbuh dan berkembang menjadi seorang anak manusia. Apakah bukan berarti kita telah lancang mencoba berperan sebagai Tuhan yang dapat menentukan nasib suatu bakal makhluk hidup.
Inggris merupakan negara pertama yang mempunyai peraturan mengenai teknologi program bayi tabung. Pada tahun 1982 dibentuk komisi yang disebut Committee of Enquiry into Human Fertilisation and Embriology (CEHFE) yang dipimpin oleh Dame Mary Warnock. Selanjutnya pada tahun 1990 dibentuk suatu badan independen Human Fertilisation and Embriology Authority (HFEA). Badan ini memiliki wewenang sebagai penasihat dan pelaksana teknologi bayi tabung. Salah satu kebijakan HFEA menyinggung masalah cryopreservasi embrio manusia. Proses ini tidak boleh dilakukan jika embrio sudah berumur lebih dari 14 hari.
Hasil lokakarya mengenai teknologi bayi tabung yang dikemukakan oleh The International Islamic Center for Population Studies and Research di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, November 2000 lalu sama sekali tak melarang program bayi tabung. Sayangnya, lokakarya itu tidak secara khusus menyebutkan kebijakan tentang cryopreservasi embrio manusia.
Di Indonesia, mengenai teknik cryopreservasi embrio manusia tidak secara lugas tercantum dalam Undang Undang Kesehatan no. 23 tahun 1992. Akan tetapi, masalah itu sedikit disinggung dalam Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, Depkes RI tahun 2000. Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa sel telur manusia yang dibuahi spermatozoa manusia tidak boleh dibiak in vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk hari-hari penyimpanan dalam suhu yang sangat rendah).
Inti dari semua hal tersebut, apakah pernyataan-pernyataan kebijakan/peraturan mengenai teknik cryopreservasi di atas dapat dijadikan pegangan yang mantap dalam mengambil keputusan dan melegalkan penyimpanan embrio sisa yang belum digunakan atau yang nantinya dapat saja dimusnahkan?  Keputusan terakhir agaknya berada di pihak pasutri yang telah menyetujui mengikuti tahap cryopreservasi dalam program bayi tabung. Hanya mereka yang memiliki hak untuk menentukan yang terbaik sesuai dengan keyakinannnya. Terkecuali, karena satu dan lain hal mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, misalnya karena meninggal dunia atau sudah tidak diketahui lagi keberadaanya. Jika hal itu terjadi, maka pihak tim yang menangani program bayi tabunglah yang menentukan keputusannya.
Atas dasar tersebut, biasanya sudah dibicarakan antara tim dokter dengan pasutri secara terbuka pada awal program. Berbagai kemungkinan yang akan terjadi selama proses pembekuan berlangsung dan konsekuensi yang akan dihadapi di kemudian hari adalah salah satu bahasan yang akan dikemukakan. Biasanya, dokter akan menyodorkan surat kesepakatan mengenai hal tersebut agar semuanya menjadi jelas. Ada hitam di atas putih.
Tampaknya hal ini akan tetap menjadi suatu dilema. Di satu pihak, teknik cryopreservasi embrio manusia merupakan suatu titik terang dalam ilmu kedokteran yang dapat membantu penyelesaian masalah infertilitas. Pihak lainnya memandang masalah ini dapat menimbulkan perdebatan panjang yang tidak ada habis-habisnya, baik di kalangan masyarakat, ulama, dan dunia kedokteran. Sangatlah wajar jika terbersit pertanyaan apakah tindakan yang diambil selama ini sudah tepat atau tidak. Memang, perkembangan ilmu pengetahuan tak selamanya dapat berjalan seiring dengan masalah etika.***R.A. Laksmi Priti Manohara/Pikiran Rakyat 2 Maret 2006



No comments:

Post a Comment