Labels

Tuesday 15 March 2016

Sistem Pendidikan yang Menumbuhkan


Judul : Sekolah yang Menyenangkan
Penulis : Anna Farida, Suhud Rois, dan Edi S. Ahmad
Penerbit : Nuansa Cendekia
Tahun  terbit : 2014

Belajar adalah tempat yang mengalir, dinamis, penuh risiko, dan menggairahkan. Belum ada kata “aku tahu” di sana. Kesalahan, keceriaan, dan ketakjuban mengisi tempat itu. (Quantum Teaching).

Jika benar proses belajar digambarkan seperti pernyataan di atas, mengapa masih ada anak yang seringkali merasa bosan bahkan menghindar ketika disodori berbagai mata pelajaran sesuai kurikulum yang telah ditetapkan? Benarkah proses pembelajaran di setiap sekolah di Indonesia telah membuat siswa-siswanya menjadi pribadi yang bertumbuh?

Buku “Sekolah yang Menyenangkan” ini mencoba menjelaskan gambaran ideal sistem pendidikan yang diyakini dapat memaksimalkan potensi dan mengembangkan karakter setiap anak. Bagaimana agar kata “belajar” tidak membuat seorang anak menjadi mengkerut lalu mundur teratur dan kemudian berlari menjauhinya. Tetapi sebaliknya, menyambut dengan suka cita, bahkan tergoda untuk menjadikan “belajar” sebagai bagian solid dari kehidupan mereka.  
Adalah salah satu tugas seorang pendidik untuk menciptakan paradigma belajar menjadi suatu definisi yang menyenangkan, bukan menyebalkan. Sekolah seharusnya merupakan lembaga yang dapat membuat para guru kreatif berkarya, membuat para siswa bertumbuh tanpa harus kehilangan jati dirinya, dan membuat  setiap orangtua tak canggung berbagi pikiran.
Beli bukunya tahun 2014, tapi baru kebaca tahun 2016 ;) #penimbunbuku

Para penulis buku mewakili tiga komponen proses pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan. Anna Farida menuangkan harapan terhadap dunia pendidikan sebagai orangtua. Edi S. Ahmad adalah pemilik konsep sekolah yang menyenangkan. Sedangkan, Suhud Rois adalah praktisi dunia pendidikan yang membagikan pengalaman mengajarnya saat menggunakan konsep sekolah yang menyenangkan.

Buku ini menjelaskan cara mengaktifkan sistem limbik pada bagian otak anak, agar proses belajar bisa berlangsung dengan semangat dan penuh daya kreatif. Harapannya, hasil belajar dapat lebih melekat dalam jangka panjang. Hal tersebut dinilai sangat penting, terutama jika melihat kondisi kurikulum di Indonesia yang dinilai cukup padat (sesuai kutipan pernyataan Kak Seto, mantan ketua Komnas Perlindungan Anak).

Kurikulum yang padat tidak dijadikan sebuah beban. Keresahan siswa dan orang tua siswa diredam guru-guru dengan cara menciptakan banyak terobosan dalam metode pembelajaran yang interaktif. Belajar dengan serius tapi santai adalah prinsip dari sekolah yang menyenangkan. Hal ini dianggap sesuai dengan pendapat Imam al-Ghazali, “ Hendaknya anak kecil diberi kesempatan bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan belajar terus menerus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasan, dan membuatnya jemu terhadap hidup sehingga ia akan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek ini.” Tentu saja, konteks bermain dalam hal ini adalah aktivitas menyenangkan yang bermuatan pendidikan.
Tak hanya berisi gambaran panduan mengajar untuk guru kreatif, buku ini juga menjelaskan peran orang tua sebagai partner sekolah. Sekolah ideal yang mengedepankan hak anak, akan menciptakan kondisi yang memungkinkan orang tua terlibat aktif. Orang tua dan guru bisa saling memberi masukan mengenai metode pengajaran yang tepat, sesuai dengan kebutuhan putra-putrinya. Hasil tes psikologi di awal siswa di sekolah, tak hanya sekadar syarat pendaftaran. Bukan pula dibuat agar sekolah dapat “mengkondisikan” siswa sehingga menciptakan anak-anak berkarakter seragam, sesuai dengan standar dan keinginan sekolah. Yang dijaga bukanlah reputasi sekolah saja, melainkan benar-benar digunakan untuk lebih memahami siswanya. Hasil tes psikologi tersebut dibuat sebagai dasar untuk menentukan metode pengajaran yang tepat untuk masing-masing siswa.

Satu hal yang agak disayangkan, buku ini hanya mengambil contoh-contoh kasus dari satu sekolah dasar saja. Sehingga tidak ada bahan perbandingan. Sebaiknya pembaca diberikan gambaran lebih luas mengenai seberapa besar tingkat keberhasilan gaya pengajaran “sekolah yang menyenangkan”, dengan memberikan contoh kasus di beberapa sekolah dasar lain yang menerapkan konsep serupa. Salah satu alasan adalah agar terhindar dari anggapan bahwa buku ini hanya sekadar ajang promosi sekolah tertentu.

Terlepas dari hal itu, sepertinya konsep “sekolah yang menyenangkan” yang disajikan dalam buku ini, tetap bisa dijadikan pertimbangan untuk diterapkan di setiap sekolah di Indonesia. Hal itu karena dasar teori dan penjelasan yang disajikan cukup masuk akal dan menyentuh kebutuhan dasar seorang anak. IMHO.


Seandainya sekolah-sekolah di Indonesia seperti Tomoe Gakuen-nya Toto Chan…