“Alhamdulillah”.
Perlahan Nabila
menutup Syaamil Quran-nya. Hari itu ia berhasil menyelesaikan tilawah surat Ar
Rahman. Sejak kelas satu SD, setiap sore, Nabila telah dibiasakan mengaji
beberapa ayat Quran. Hal itu berlanjut hingga sekarang.
Baru saja Nabila
akan meletakkan Quran kesayangannya di atas meja belajar, tiba-tiba terdengar
suara bergedebuk dari luar kamarnya.
“Auw”!
Seseorang
menjerit kesakitan.
Buru-buru Nabila
melangkah ke arah jendela kamarnya. Melongok ke luar dan melihat tetangganya,
Keni, sedang menggosok-gosok kaki dengan muka meringis.
“Keni! Apa yang
kau lakukan di situ? Mau berbuat jahil lagi ya?” seru Nabila.
Keni adalah anak
penghuni panti asuhan di sebelah rumahnya. Ia juga sekaligus teman sekolah yang
paling tidak disukai Nabila. Gadis cilik berusia 9 tahun itu sangat senang menjahili
Nabila.
Keni sering menarik ujung jilbab Nabila, berteriak keras-keras di telinganya, dan seabreg keusilan yang
sangat mengganggu. Entah apalagi yang sedang direncanakan teman sekelasnya itu
kali ini.
“Eh… Tidak. Aku
tidak bermaksud apa-apa, kok,” jawab Keni tergeragap.
“Pasti kamu
berbohong,” sela Nabila .
“Betul, kok. Masa
aku bohong.” Keni agak terlihat gugup.
Kekesalan Nabila tidak hilang.
“Eh, Keni. Tante
kira siapa. Sedang apa di luar situ? Ayo masuk ke dalam!” seru Umi Nabila yang
saat itu sudah berdiri di halaman depan rumah.
“Ajak temanmu masuk, Nabila. Umi mau ke warung Bu Nyoman dulu.”
Sebenarnya
Nabila sangat enggan, tetapi akhirnya ia menuruti juga kata uminya. Nabila
berjalan ke luar kamar dan membuka pintu ruang depan untuk mempersilakan Keni
masuk.
Saat Nabila
membuka pintu ruang depan, Umi sudah tidak terlihat lagi.
“Maafkan aku,
Nabila. Pasti aku mengagetkan dirimu ya?” kata Keni.
“Tentu saja,”
ujar Nabila masih kesal. “Untung saja aku sudah menyelesaikan tilawahku. Tak
bisakah kau berhenti menjahiliku, Keni?”
Tanpa
disangka, Keni tersenyum dan mengangguk.
“Bisa saja. Aku akan
berhenti mengganggumu dengan satu syarat,”
“Syarat apa? Mau
melakukan kebaikan kok minta pamrih,” gerutu Nabila dengan mulut masih
mengerucut karena kesal.
“Tolong ajari
aku membaca Quran. Aku ingin bisa mengucapkan ayat-ayat itu sebagus dirimu. Setiap
sore aku selalu menunggumu mengalunkan ayat-ayat Quran. Suaramu yang merdu terdengar
sampai ke rumah panti. Boleh kan?” Keni
menatap Nabila dengan penuh harap.
Mulut Nabila
menganga saking herannya. Diamatinya wajah Keni. Tak ada sedikitpun keraguan tampak
di wajah temannya itu. Keni terlihat sangat bersungguh-sungguh dengan
permintaannya.
Nabila lalu
menggerakkan matanya ke bawah, melihat kalung salib yang menggantung di dada
Keni. Mendadak Nabila teringat akan
kisah Khalifah Umar bin Khattab, seorang sahabat Nabi Muhammad yang akhirnya memeluk agama Islam
karena mendengar adiknya melantunkan ayat suci Alquran. Perlahan, senyum mulai
mengembang di bibir Nabila. Allah pasti
tak keberatan jika ada umatNya yang ingin mempelajari Alquran, pikir
Nabila.
“Oh.. Baiklah.
Aku akan mengajakmu menemui Ustadzah Rani, guru mengajiku. Insya Allah beliau
lebih pandai mengajari orang membaca Quran dan menjelaskan adab-adabnya,” kata Nabila.
Keni terlihat
berseri-seri. Sebuah ketapel kayu yang sedang digenggamnya, segera dimasukkan
ke dalam saku.
***
Cerita ini diikutsertakan dalam lomba FF Paberland bekerja
sama dengan Syaamil Quran. #AyoNgajiTiapHari