Labels

Sunday 7 May 2017

Memberantas Korupsi itu Sederhana

Ketika korupsi di bumi Indonesia mulai tampak merajalela, masyarakat menyambut baik terbentuknya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) pada 2003 lalu. Sejak itu, harapan terciptanya negara bebas korupsi terus dipupuk.
Sebagai lembaga negara independen, KPK bersinergi dengan pihak kejaksaan dan kepolisian untuk menangani berbagai kasus korupsi.  Seperti dikutip dari situs kpk.go.id, dalam kurun waktu 2004 - 2015, KPK telah berhasil memenjarakan 23 menteri dan kepala lembaga, 15 gubernur, 49 bupati/walikota, 87 legislator, serta 120 pejabat eselon I,II, dan III.  
Sayangnya, keberadaan KPK belum membuat kasus korupsi menyurut tajam. Kita masih dengan mudah menemukan berita seorang pejabat yang ditangkap karena terjerat kasus korupsi. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), total kasus korupsi di tahun 2014 adalah 629 kasus dengan jumlah tersangka 1328 orang. Sedangkan untuk semester I tahun 2015 saja, telah terdapat 308 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 590 orang. Hal itu menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih memerlukan penangangan yang lebih intens.
Sampai usia 12 tahun, KPK hanya memiliki sekitar 60 penyidik. Seorang penyidik bisa menangani 4 sampai 5 kasus sekaligus. Tentunya hal ini mempengaruhi kinerja pemberantasan korupsi. Kita tidak bisa sepenuhnya bergantung pada lembaga independen ini, jika menginginkan kasus korupsi benar-benar lenyap dari Indonesia. Pemberantasan korupsi haruslah menyentuh akar permasalahan yang ada.
Menurut Jack Boulogne, korupsi dapat muncul karena faktor GONE. Diantaranya, Greeds (keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan tindakan/konsekuensi yang tidak memberi efek jera). Jika diperhatikan, keempat faktor tersebut secara alami dapat dialami oleh semua manusia tanpa kecuali. Hal yang membedakan adalah, apakah manusia tersebut memiliki integritas atau tidak.
Secara mendasar, perilaku korupsi itu sendiri tidak terbatas hanya berupa penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, merugikan keuangan negara, penyuapan, dan pemerasan saja. Lebih luas lagi, korupsi dapat diartikan sebagai kebejatan, ketidakjujuran, perilaku tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian (The Lexicon Webster Dictionary, 1978). Korupsi juga dapat diartikan sebagai bentuk perilaku menyimpang dari sembilan nilai integritas yang dicanangkan KPK. Kesembilan nilai tersebut adalah tanggung jawab, kejujuran, keadilan, kemandirian, kesederhanaan, keberanian, kepedulian, kerja keras, dan kedisiplinan. 
Jadi, perilaku korupsi ternyata tidak hanya milik para pejabat dan pemegang kekuasaan saja. Perilaku korupsi adalah perilaku dasar yang dapat menjangkiti seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Beberapa perilaku korupsi malah dekat sekali dengan keseharian kita. Misalnya, menyontek, berbohong, mengganggu teman, berlaku curang, membuang sampah sembarangan, dan merusak fasilitas umum.
            Dengan memahami hal tersebut, proses pemberantasan korupsi akhirnya bukan merupakan monopoli para penegak hukum, melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Memberantas korupsi bisa menjadi sebuah hal yang sangat sederhana. Setiap warga negara dapat memberikan kontribusinya kepada KPK. Caranya adalah dengan mengambil peran sesuai dengan minat dan kapasitasnya masing-masing.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenali diri sendiri. Pengenalan terhadap diri sendiri akan membuat seseorang mengetahui potensi yang dimilikinya. Hal itu  memudahkan langkah kedua, yaitu menentukan peran yang sesuai dalam pemberantasan korupsi.
Beberapa peran yang dapat diambil misalnya peran represif, perbaikan sistem, dan kampanye. Pendekatan represif yaitu dengan membantu melaporkan kepada KPK suatu tindak pidana korupsi yang diketahui terjadi di sekitar kita. Upaya lain misalnya dengan mengawasi jalannya sidang peradilan korupsi melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi.
            Peran dalam strategi perbaikan sistem, dapat dilakukan dengan cara membantu memantau pelayanan publik. Jangan sampai kita turut andil memberikan kesempatan pada para pegawai publik untuk melakukan korupsi. Seandainya kita termasuk bagian dari sistem, sudah selayaknya berperan dalam membentuk manajemen antikorupsi di lingkungan kerja tersebut.
Peran kampanye, secara luas bisa dilakukan oleh semua orang tanpa batas usia. Sesuai definisinya, tujuan kampanye adalah memberikan edukasi kepada orang lain. Berkampanyelah sesuai dengan minat dan bakat kita. Sebagai contoh, seorang penulis dapat berkampanye melalui tulisan-tulisan bertema antikorupsi. Seorang pengarang lagu dapat berkampanye melalui lagu antikorupsi ciptaannya. Seorang ibu atau ayah, dapat mengajarkan nilai-nilai integritas kepada putra putrinya sejak usia dini. Bahkan seorang pedagang kecil pun, dapat ikut berkampanye dengan memperlakukan para pelanggannya secara adil dan jujur.
Seandainya kita masih merasa sulit dan tidak mampu menggerakkan orang lain melalui sebuah karya, mulailah berusaha memberi teladan yang baik. Dengan memberi contoh sikap yang baik, secara tidak langsung kita telah berpartisipasi memberantas korupsi. Bayangkan jika setiap orang di muka bumi ini selalu menunjukkan sikap berintegritas tinggi. Betapa besar kekuatan pemberantasan korupsi yang akan terbentuk.

 Dengan membiasakan diri berbuat kebenaran, niscaya terciptanya negara Indonesia yang adil, makmur, dan bebas korupsi bukan hanya sebuah impian semu. Memberantas korupsi itu sederhana, asal ada kemauan.***