Ketika
korupsi di bumi Indonesia mulai tampak merajalela, masyarakat menyambut baik
terbentuknya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003 lalu. Sejak itu, harapan
terciptanya negara bebas korupsi terus dipupuk.
Sebagai
lembaga negara independen, KPK bersinergi dengan pihak kejaksaan dan kepolisian
untuk menangani berbagai kasus korupsi.
Seperti dikutip dari situs kpk.go.id, dalam kurun waktu 2004 - 2015, KPK
telah berhasil memenjarakan 23 menteri dan kepala lembaga, 15 gubernur, 49 bupati/walikota,
87 legislator, serta 120 pejabat eselon I,II, dan III.
Sayangnya,
keberadaan KPK belum membuat kasus korupsi menyurut tajam. Kita masih dengan
mudah menemukan berita seorang pejabat yang ditangkap karena terjerat kasus
korupsi. Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), total kasus korupsi di
tahun 2014 adalah 629 kasus dengan jumlah tersangka 1328 orang. Sedangkan untuk
semester I tahun 2015 saja, telah terdapat 308 kasus dengan jumlah tersangka
sebanyak 590 orang. Hal itu menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih
memerlukan penangangan yang lebih intens.
Sampai
usia 12 tahun, KPK hanya memiliki sekitar 60 penyidik. Seorang penyidik bisa
menangani 4 sampai 5 kasus sekaligus. Tentunya hal ini mempengaruhi kinerja
pemberantasan korupsi. Kita tidak bisa sepenuhnya bergantung pada lembaga
independen ini, jika menginginkan kasus korupsi benar-benar lenyap dari
Indonesia. Pemberantasan korupsi haruslah menyentuh akar permasalahan yang ada.
Menurut
Jack Boulogne, korupsi dapat muncul karena faktor GONE. Diantaranya, Greeds
(keserakahan), Opportunities (kesempatan), Needs (kebutuhan), dan Exposure
(pengungkapan tindakan/konsekuensi yang tidak memberi efek jera). Jika
diperhatikan, keempat faktor tersebut secara alami dapat dialami oleh semua manusia
tanpa kecuali. Hal yang membedakan adalah, apakah manusia tersebut memiliki
integritas atau tidak.
Secara
mendasar, perilaku korupsi itu sendiri tidak terbatas hanya berupa
penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, merugikan keuangan negara, penyuapan, dan
pemerasan saja. Lebih luas lagi, korupsi dapat diartikan sebagai kebejatan,
ketidakjujuran, perilaku tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian (The
Lexicon Webster Dictionary, 1978). Korupsi juga dapat diartikan sebagai bentuk
perilaku menyimpang dari sembilan nilai integritas yang dicanangkan KPK.
Kesembilan nilai tersebut adalah tanggung jawab, kejujuran, keadilan,
kemandirian, kesederhanaan, keberanian, kepedulian, kerja keras, dan
kedisiplinan.
Jadi,
perilaku korupsi ternyata tidak hanya milik para pejabat dan pemegang kekuasaan
saja. Perilaku korupsi adalah perilaku dasar yang dapat menjangkiti seluruh lapisan
masyarakat Indonesia. Beberapa perilaku korupsi malah dekat sekali dengan
keseharian kita. Misalnya, menyontek, berbohong, mengganggu teman, berlaku
curang, membuang sampah sembarangan, dan merusak fasilitas umum.
Dengan memahami hal tersebut, proses
pemberantasan korupsi akhirnya bukan merupakan monopoli para penegak hukum,
melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Memberantas korupsi bisa menjadi
sebuah hal yang sangat sederhana. Setiap warga negara dapat memberikan
kontribusinya kepada KPK. Caranya adalah dengan mengambil peran sesuai dengan
minat dan kapasitasnya masing-masing.
Langkah
pertama yang harus dilakukan adalah mengenali diri sendiri. Pengenalan terhadap
diri sendiri akan membuat seseorang mengetahui potensi yang dimilikinya. Hal
itu memudahkan langkah kedua, yaitu
menentukan peran yang sesuai dalam pemberantasan korupsi.
Beberapa
peran yang dapat diambil misalnya peran represif, perbaikan sistem, dan
kampanye. Pendekatan represif yaitu dengan membantu melaporkan kepada KPK suatu
tindak pidana korupsi yang diketahui terjadi di sekitar kita. Upaya lain
misalnya dengan mengawasi jalannya sidang peradilan korupsi melalui
lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi.
Peran dalam strategi perbaikan
sistem, dapat dilakukan dengan cara membantu memantau pelayanan publik. Jangan
sampai kita turut andil memberikan kesempatan pada para pegawai publik untuk
melakukan korupsi. Seandainya kita termasuk bagian dari sistem, sudah
selayaknya berperan dalam membentuk manajemen antikorupsi di lingkungan kerja
tersebut.
Peran
kampanye, secara luas bisa dilakukan oleh semua orang tanpa batas usia. Sesuai
definisinya, tujuan kampanye adalah memberikan edukasi kepada orang lain.
Berkampanyelah sesuai dengan minat dan bakat kita. Sebagai contoh, seorang
penulis dapat berkampanye melalui tulisan-tulisan bertema antikorupsi. Seorang
pengarang lagu dapat berkampanye melalui lagu antikorupsi ciptaannya. Seorang
ibu atau ayah, dapat mengajarkan nilai-nilai integritas kepada putra putrinya
sejak usia dini. Bahkan seorang pedagang kecil pun, dapat ikut berkampanye
dengan memperlakukan para pelanggannya secara adil dan jujur.
Seandainya
kita masih merasa sulit dan tidak mampu menggerakkan orang lain melalui sebuah
karya, mulailah berusaha memberi teladan yang baik. Dengan memberi contoh sikap
yang baik, secara tidak langsung kita telah berpartisipasi memberantas korupsi.
Bayangkan jika setiap orang di muka bumi ini selalu menunjukkan sikap
berintegritas tinggi. Betapa besar kekuatan pemberantasan korupsi yang akan
terbentuk.
Dengan membiasakan diri berbuat kebenaran, niscaya
terciptanya negara Indonesia yang adil, makmur, dan bebas korupsi bukan hanya
sebuah impian semu. Memberantas korupsi itu sederhana, asal ada kemauan.***