Labels

Tuesday 24 November 2015

Hujan Buku


Pak Lodi dan anak-anak desa Soluna sudah ramai berkumpul di taman. Tetapi Bilbil belum juga nampak. Bilbil adalah raksasa baik hati yang tinggal di atas bukit, tak jauh dari desa. Rumah Bilbil penuh dengan koleksi buku berukuran besar. Bilbil sangat pandai membacakan dongeng. Untuk itulah, Pak Lodi sang guru sekolah, meminta Bilbil menghibur anak-anak desa.
Maka, setiap bulan di hari ke dua belas, Bilbil akan membacakan dongeng seru dari salah satu buku miliknya. Di hari lain, Bilbil akan membantu penduduk desa membajak sawah atau membangun bendungan.
Tapi agaknya kali ini anak-anak desa Soluna harus kecewa.
“Pulang saja, yuk! Mungkin Bilbil lupa atau ketiduran,” kata Benina setelah satu jam berlalu. Menunggu adalah hal yang paling tidak disukainya.
Sebagian besar anak mengikuti jejak Benina. Mereka beringsut dari tempatnya duduk dan bergerak melangkah pulang.
“Eh, jangan pulang dulu. Jangan-jangan Bilbil sedang sakit. Ayo kita tengok ke rumahnya,” cegah Pak Lodi.
Akhirnya Benina dan anak-anak lainnya setuju pergi ke atas bukit untuk menjenguk Bilbil. Tetapi baru saja mereka berjalan beberapa langkah, mendadak terdengar geraman menyeramkan dari atas bukit.
“Apa yang terjadi?” seru anak-anak, berdiri mematung ketakutan.
Detik berikutnya, sebuah benda besar terlihat terlempar dari atas bukit. Melayang di atas kepala anak-anak. Lalu jatuh berdebum menimpa sekelompok tanaman bunga yang ada di taman.
            Bruaak…
Buku-buku berukuran besar terus menerus terlempar keluar bagaikan hujan. Ada yang menimpa rumah, ada yang menimpa bendungan, ada pula yang mendarat di atas tanah.
Penduduk desa keluar dari rumah masing-masing. Mereka mulai berlarian dan berteriak panik. Baru kali itu ada hujan buku raksasa yang memporakporandakan desa mereka.
“Geraman itu seperti suara Bilbil. Mengapa Bilbil tega menghancurkan desa kita?” tanya Benina dengan suara gemetar. Tak ada seorang pun yang bisa menjelaskan.
            Pak Lodi segera berpikir cepat.
“Dengar! Aku harus masuk ke rumah Bilbil untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Tak biasanya Bilbil bersikap demikian. Pasti ada sesuatu,”  kata Pak Lodi.
“Jangan, Pak!” seru Benina dan anak-anak yang lain. Mereka tak mau guru mereka itu terluka.
“Jangan mengkhawatirkan aku. Sebaiknya kalian bantu ayah dan ibu kalian, serta penduduk desa yang lain.”
Akhirnya Benina dan anak-anak lain mengangguk setuju.
Pak Lodi pun segera berlari ke atas bukit sambil setengah merunduk. Tetapi tak lama,  buku-buku berhenti terlempar. Suara geraman berganti menjadi erangan. Pak Lodi lalu masuk ke dalam rumah Bilbil, melalui celah kecil di bawah pintu.
Di dalam rumah raksasa itu, Pak Lodi menemukan Bilbil sedang terduduk bersandar pada rak yang biasanya terisi penuh dengan buku. Bilbil mengerang lemah sambil memegangi sebuah kacamata yang pecah.
“Bilbil…,” teriak Pak Lodi memberanikan diri.
“Siapa itu?” suara Bilbil terdengar serak. Kepalanya celingukan. Matanya menyipit mencari asal suara.
“Ini aku. Lodi,” seru Pak Lodi.
Tetapi Bilbil tampaknya tak dapat melihat dengan jelas. Tangannya meraba-raba lantai. Pak Lodi berjalan mendekat dan menyentuh tangan Bilbil. Lalu membiarkan dirinya diangkat sampai di dekat mata raksasa itu. Dengan jarak sedekat itu, tampaknya Bilbil bisa mengenali sosok Pak Lodi walau masih kabur.
“Mengapa kau tidak datang ke taman hari ini? Mengapa pula kau melempar semua bukumu? Desa kami jadi rusak karena tertimpa buku-buku berat itu,” tanya Pak Lodi.
“Oh. Benarkah?” Bilbil tampak sangat terkejut. Matanya membelalak tak percaya.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Bilbil?” Pak Lodi kembali bertanya.
“Kacamataku tak sengaja terinjak. Tanpa kacamata itu, pandanganku jadi kabur. Aku tak dapat menemukan buku yang kucari. Padahal kalian pasti menunggu kelanjutan dongeng si Putri Salju, kan? Lama-lama aku kesal. Sayang, mungkin aku terlalu kuat melempar buku-buku itu. Tak kusangka, buku-buku itu melayang ke luar jendela dan jatuh menimpa desamu. Maafkan aku,” jelas Bilbil penuh penyesalan. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”
“Sebaiknya kau minta maaf pada seluruh penduduk desa Soluna. Mereka sudah dibuat ketakutan olehmu. Kau juga harus membantu mereka memperbaiki semua kerusakan yang diakibatkan olehmu. Sebagai gantinya, aku akan membantumu memperbaiki kacamata yang pecah dan menemukan buku yang kau cari. Anak-anak sudah tak sabar ingin mendengarmu mendongeng.”
“Baiklah. Aku benar-benar menyesal. Aku akan segera membereskan semua kerusakan yang telah kuperbuat. Mudah-mudahan penduduk desa memaafkanku,” kata Bilbil.
“Pasti mereka akan memaafkanmu. Kau kan tidak melakukannya dengan sengaja. Lain kali kalau kesal jangan sambil melempar barang ya,” kata Pak Lodi memberi nasihat.

Bilbil mengangguk. Pipinya memerah karena malu.***

*)Tulisan ini telah dimuat di Majalah Bobo edisi 30, 29 Oktober 2015

Wednesday 9 September 2015

Katalog Buku Laksmi P. Manohara


Menulis itu sangat menyenangkan. Apalagi kalau punya kesempatan untuk diterbitkan menjadi buku. Saat ini saya berusaha fokus untuk menulis buku cerita anak-anak. Menulis cerita anak itu punya tantangannya sendiri loh. Dibilang gampang engga, dibilang susah banget juga engga. Intinya sih mau terus belajar dan belajar untuk meningkatkan kemampuan diri. Di bawah ini, daftar buku saya yang telah diterbitkan oleh beberapa penerbit di Indonesia. Semoga daftarnya terus bertambah dengan kualitas yang terus meningkat. Aamiin.

Judul       : Hwaiting, Hye Mi!
Penulis    : Laksmi P. Manohara
Penerbit  : Dar! Mizan 
Harga     : Rp. 35.000,00
Tahun terbit : 2015
Sinopsis  : Hye Mi, gadis korea berusia 10 tahun, sangat pintar menari hip hop. Berbagai kejuaraan telah diraihnya. Tuan Jun Ki, kepala sekolahnya, sangat bangga sehingga meminta Hye Mi menari di acara kementerian negara Korea.Sayangnya, semua tidak seperti yang Hye Mi bayangkan. Ia diminta untuk menarikan tarian tradisional Korea, bukannya tarian modern hip hop! Hye Mi terpaksa harus berjuang keras berlatih menarikan tarian yang tidak disukainya. Niatnya untuk membangkang dengan cara bermalas-malasan dalam berlatih, membuatnya harus mengalami berbagai kejadian yang tidak menyenangkan. Dihukum oleh nona Kim, dimusuhi oleh teman-teman di sanggar tari, dan dijauhi sahabatnya, Ji Hyo. Untung nenek yang tinggal di pulau Jeju, datang berkunjung ke rumah Hye Mi. Nenek membantu Hye Mi perlahan-lahan keluar dari semua kesulitan yang dihadapinya.

Review dapat dibaca di ketimbun buku, Peni Astiti
Rating goodreads


Buku seri Cerita dari negeri Paranada. Terdiri dari 5 judul buku yaitu Tarian Cis Cis, Roda-roda Pak Redo, Kisah Alto dan Opus, Boneka-boneka Gita, dan Tekad Quinta.
Penulis      : Laksmi P. Manohara
Penerbit    : Talikata Publishing
Harga       : Rp. 25.000,00
Tahun terbit : 2012
Sinopsis   : Cerita-cerita dalam buku mengisahkan para kucica yang tinggal di Negeri Paranada. Negeri ini penuh musik! Nama-nama kucica, nama pohon dan hewan, bahkan jalanan dan rambu-rambu lalu lintas di seluruh negeri, semua berhubungan dengan istilah musik. Membaca kisah para kucica bisa sekaligus menambah pengetahuan musik kita. Setiap buku, memuat 2 kisah seru, 2 buah lagu anak-anak, teori musik, istilah-istilah musik, dan pengetahuan tentang alat musik Indonesia dan dunia.
sneak peek buku 'Tarian Cis Cis'
Teori musik

sneak peek "Roda-roda Pak Redo"

Review dapat dibaca di Superkids Indonesia
Lagu anak-anak yang ada dalam buku ini dapat didengarkan dan di-download  di soundcloud

Thursday 27 August 2015

Kuil Sri Srinivasa Perumal

Foto : amikujira

Berdasarkan hasil sensus kependudukan tahun 2000, sebanyak 55,4 % populasi orang India di Singapura adalah pemeluk agama Hindu. Tak heran jika cukup banyak kuil Hindu yang dapat ditemukan di Singapura. Diketahui sebanyak 35 kuil Hindu tersebar di Singapura. Mayoritas dibangun di kawasan Little India. Diantaranya adalah kuil Sri Mariamman dan Sri Srinivasa Perumal yang terletak di area Serangoon Road.
            Saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke salah satu kuil yang letaknya paling dekat dengan hotel yang saya tempati sewaktu berwisata ke Singapura. Kuil itu adalah Sri Srinivasa Perumal. Dari hotel, saya hanya perlu berjalan kaki selama 5 menit.
Pintu gerbang kuil Sri Srinivasa Perumal terlihat terbuka lebar. Sejumlah pria dan wanita India tampak bergantian memasuki bangunan kuil setelah sebelumnya mencuci kaki dan meninggalkan alas kakinya di tempat yang telah disediakan. Meskipun kuil ini milik komunitas pemeluk agama Hindu, warga non Hindu pun diijinkan untuk mengunjunginya. Begitu pula seorang turis seperti saya. Seorang penjaga kuil dengan ramah mempersilakan saya dan keluarga untuk masuk ke dalam kuil dan mengamatinya dari dekat.  Tentu saja saya pun harus melepas alas kaki sebelum memasukinya.
Pintu masuk kuil. Foto :amikjira
Cuci kaki sebelum masuk ke dalam kuil. Foto : amikujira

Bangunan kuil ini diketahui mulai dibangun sekitar tahun 1885 di atas lahan seluas kurang lebih 2 are atau 200 m2. Pembangunan kuil diprakarsai oleh sekelompok anggota komunitas “The East Indian Community” yang cukup berpengaruh di Singapura pada saat itu. Diantaranya Arunachala Pillay, Cootaperumal Pillay, Ramasamy Pillay, Appasamy Pillay, Chockalingam Pillay dan Ramasamy Jamidar. Pada waktu itu, kuil ini diberi nama Narasinga Perumal Kovil.
Bangunan kuil ini kemudian mengalami renovasi dan modifikasi di berbagai area. Salah satunya adalah pembangunan gapura bermenara yang penuh dengan relief berbagai bentuk reinkarnasi Dewa Wishnu. Tinggi menara tersebut mencapai 20 meter, sehingga sering disebut Rajagopuram atau Menara yang besar dan tinggi. Menara tersebut dibangun atas biaya Govindasamy Pillay, juga seorang anggota komunitas “The East Indian Community”. Begitu pula halnya dengan pembangunan aula khusus acara pernikahan yang berada di dalam kuil. Pembangunan aula tersebut sempat diresmikan oleh Yusof bin Ishak, presiden pertama Singapura, pada tahun 1965. Tahun 1966, nama kuil diganti menjadi Sri Srinivasa Perumal. Perumal adalah nama lain dari Dewa Wishnu, sang dewa pelindung. Baru pada tahun 1978 kuil ini diresmikan sebagai  salah satu Monumen Nasional di Singapura.
Bagian dalam kuil terdiri dari langit-langit yang dipenuhi gambar berpola sirkular dan penuh warna. Gambar itu melukiskan 9 planet yang ada di alam semesta. Di sana juga terdapat ruang-ruang paviliun yang dijaga oleh beberapa penjaga kuil berbusana Dhoti. Dhoti adalah pakaian khas yang biasa digunakan pria India. Pakaian ini terdiri dari lembaran kain putih atau kuning yang panjang. Kain itu dililitkan di bagian pinggang, diikat pada celah paha, kemudian disangkutkan di bahu.
Langit-langit bergambar pola sirkular. Foto: amikujira

Penjaga pintu salah satu ruang paviliun berpakaian dhoti. Foto : amikujira

Masing –masing ruangan tersebut merupakan tempat pemujaan pada dewa dan dewi Hindu yang berbeda-beda. Kuil ini didedikasikan untuk pemujaan terhadap Krishna, salah satu bentuk reinkarnasi Dewa Wishnu, Oleh karena itu semua ruangan dan patung-patungnya  berhubungan dengan kehidupan dewa Wishnu. Mulai dari patung burung garuda yang merupakan kendaraan dewa Wishnu, sampai ruang pemujaan sang dewi kesejahteraan dan kecantikan, Sri Mahalakshmi. Dewi Lakshmi adalah salah satu istri dewa Wishnu.
Di setiap ruangan, penjaga-penjaga kuil akan membantu jemaat untuk melakukan ritual ibadah mereka. Sambil membawa gantha (lonceng kecil), mereka melakukan gerakan tubuh anjali, atau menangkupkan kedua tangan di dada untuk memberi hormat pada sesama. Lalu dilanjutkan dengan meletakkan kedua tangan di atas kepala untuk memberi hormat pada dewa dan dewi.    
Ritual ibadah. Foto : amikujira

Detail Rajagopuram. Foto : amikujira

   Beberapa festival keagamaan sering dilakukan di Kuil Sri Srinivasa Perumal. Kuil ini diketahui merupakan titik awal dari pelaksanaan perayaan keagamaan, Festival Thaipusam. Festival tahunan ini biasanya diselenggarakan pada pertengahan Januari, saat bulan purnama. Perayaan akan dimulai sekitar pukul 9.30 pagi di kuil Sri Srinivasa Perumal, diikuti oleh banyak partisipan pria dan wanita beragama Hindu yang ingin melakukan penebusan dosa dan mengharap berkah dari Dewa Murugan. Mereka akan melakukan perjalanan panjang melalui Orchard Road dan Penang Road sambil membawa cawan berisi susu serta membawa Kavadis. Kavadis adalah potongan kayu atau baja berbentuk semi sirkular yang dikaitkan bahkan menembus kulit beberapa partisipan pria. Perayaan selanjutnya akan berakhir di kuil Sri Thandayuthapani di Tank Road sekitar pukul 11 malam.

Hal yang cukup saya sesali adalah Festival Thaipusam 2013 di Singapura dilaksanakan tanggal 27 Januari. Sedangkan perjalanan wisata yang saya lakukan berakhir di tanggal 24 Januari. Jadi, saya tidak dapat menyaksikan kemeriahan itu dengan mata kepala saya sendiri. Tampaknya lain kali saya harus lebih cermat memilih waktu berwisata.***

*)Tulisan ini telah dimuat di harian umum Pikirian Rakyat tahun 2013, dengan melalui proses editing.

MENGENAL KOMUNITAS INDIA DI SINGAPURA


Tetesan hujan mengawali pagi pertama saya di Singapura. Dari balik jendela kamar hotel yang berada di lantai empat, saya mulai tertarik mengamati keadaan sekitar. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 9.30 pagi, tetapi matahari masih malu-malu menampakkan dirinya. Meski begitu, telah banyak orang lalu lalang di sekitar Syed Alwi Road. Sebagian besar adalah warga Singapura keturunan India. Udara dingin dan awan mendung agaknya tak menyurutkan semangat mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Hotel yang saya tempati memang berada di kawasan Little India. Di area ini, saya merasakan suasana yang sedikit berbeda, seperti bukan berada di Singapura yang notabene mayoritas bermata sipit. Sesuai namanya, kawasan Little India merupakan area yang ditempati oleh sebagian besar masyarakat Singapura keturunan India untuk tinggal, beribadah dan beraktivitas. Berdasarkan profil data kependudukan tahun 2012,  warga  keturunan India diketahui menguasai 7,9% dari populasi total warga Singapura. Sedangkan populasi warga negara keturunan China/Tionghoa sebanyak 77%, Melayu 14%, dan lain-lain 1,4%.
Pada kesempatan wisata kali ini, saya melancong tak sendiri. Saya dan suami mengajak anak dan janin dalam kandungan untuk berwisata selama 3 hari 2 malam di Singapura. Tujuan utama sebenarnya mengajak anak saya ke Universal Studio yang terletak di pulau Sentosa. Tetapi saya sengaja memilih tempat menginap di kawasan Little India dengan alasan ingin melihat dari dekat bagaimana orang-orang India beraktivitas, tanpa perlu pergi ke Negara India. Lagipula saya juga ingin mencoba beberapa kuliner ala India. Saya ingin wisata singkat ke Singapura ini bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Sungguh menarik berada lebih dekat dengan komunitas orang India. Di Indonesia, terutama di Bandung, jarang sekali saya temui pemandangan orang-orang India yang lalu lalang memakai pakaian khas mereka. Hal itu sangat berbeda dengan apa yang saya temui di kawasan Little  India ini. Bangunan-bangunan yang banyak dilengkapi tulisan India juga semakin mewarnai suasana ala negeri Bolywood.
Pemandangan di depan hotel Arianna, pusat perbelanjaan Mustafa
@Universal Studio. Mamah-mamah India berkain sari


Bangsa Inggris lah yang memegang peranan penting dalam proses migrasi orang-orang India dari negeri asalnya ke negara Singapura. Sebagai negara penjajah India dan Singapura, sekitar tahun 1819, bangsa Inggris membawa orang-orang India itu sebagai tahanan, pekerja, atau tentara. Populasi orang India tersebut kebanyakan pria usia produktif. Baru sekitar pertengahan abad 20, populasi tersebut mulai berkembang dan memunculkan rasio gender yang lebih seimbang, serta rentang usia yang lebih bervariasi.
Di negeri Singa ini, etnis India hidup berbaur dengan etnis lainnya. Mereka bebas beraktivitas tanpa perlu melepaskan atribut dan simbol-simbol khas budaya India. Begitu banyak perempuan keturunan India yang berjalan-jalan di tempat umum menggunakan kain sari, lengkap dengan tanda merah di dahi.  Beberapa pria tak ragu memakai turban (pagri) ala india. Sementara ada pula pria yang mengecat kulit kepala mereka yang plontos dengan warna kuning dan tanda kuning di dahinya. Cukup kontras dengan warna kulitnya yang rata-rata berwarna gelap.
Pada umumnya, orang-orang India tersebut diketahui beragama Hindu. Hal itu terlihat dari busana serta atribut yang mereka pakai. Pakaian itu mencirikan simbol-simbol khas agama Hindu. Begitu pula warna-warna merah dan kuning di dahi, yang memiliki filosofinya sendiri. Tetapi kemudian saya juga menemukan banyak perempuan India yang yang memakai jilbab. Ternyata data statistik menunjukkan bahwa orang India di Singapura juga banyak yang memeluk agama Islam.  Sekitar 17 % dari total masyarakat Singapura  pemeluk agama Islam adalah berasal dari etnis India.
Pemerintah Singapura agaknya memang mengakui dan menghormati keberadaan etnis India ini. Kita dengan mudah akan menemukan sejumlah aksara Tamil di berbagai tempat umum atau transportasi publik seperti di dalam stasiun dan gerbong-gerbong MRT (Mass Rapid Transit). Tulisan tersebut berdampingan dengan tulisan berbahasa Inggris, Cina dan Melayu.
Aksara Tamil di kawasan MRT


Kawasan Little India terletak di sebelah timur sungai Singapura, di seberang China Town, dan sebelah utara Kampong Glam. Tepatnya terletak di dekat Serangoon Road, sebuah kawasan fenomenal yang belum lama ini diabadikan dalam sebuah judul film “Serangoon Road”. Kawasan Little India dapat dicapai setidaknya melalui stasiun MRT Little India dan stasiun Farrer Park.
Naik MRT merupakan pilihan transportasi yang cukup murah dan mudah dibandingkan menggunakan bus dan taksi. Dengan mengeluarkan biaya rata-rata 1,5 – 3SGD per orang untuk sekali perjalanan (1SGD sekitar Rp 8000,00), kita dapat mencapai area yang dituju dengan waktu yang cukup singkat. Apalagi stasiun-stasiun MRT ini tersebar di setiap sudut kota Singapura, dengan jarak yang cukup  berdekatan. Jadi, turis seperti saya merasa sangat terbantu karena tak perlu jalan kaki teralu jauh untuk mencapainya.  
Satu hal penting yang perlu diingat adalah jangan pernah melupakan arah pintu keluar terdekat kalau tidak ingin berjalan berputar-putar mencari lokasi yang dituju. Hal itu karena rata-rata pintu keluar dari setiap stasiun MRT menuju jalan-jalan raya terdekat, terdiri dari pintu A-I. Pengalaman lupa itu sempat saya alami karena masih merasa asing dengan kondisi jalan di Singapura. Saat itu, sepotong peta kota pun tak mampu membantu banyak karena peristiwa itu terjadi di malam hari.

Secara umum, biaya wisata di Singapura memang tampak lebih mahal dibandingkan wisata ke negara-negara di Asia tenggara lainnya. Standar tarif hotel bintang 2 seperti hotel Arianna yang saya tempati, bisa menghabiskan dana Rp 600.000,00 per malam. Fasilitas yang diperoleh yaitu kamar sederhana berukuran kurang lebih 3 x 4 m2, AC, wifi gratis, dan TV kabel. Jika kita tak membawa serta keluarga, kita bisa memilih hotel lain dengan konsep “dormitory” (satu kamar terdiri dari beberapa tempat tidur bertingkat, dengan kamar mandi terpisah). Tarifnya hanya menghabiskan Rp 300.000,00 – 400.000,00 per malam. Resikonya, kita harus mau berbagi kamar dengan para pelancong lain.

Hotel Arianna tempat saya menginap terletak di Syed Alwi Road. Hotel itu berada tepat di seberang pusat pertokoan Mustafa Center yang selalu buka selama 24 jam. Untuk dapat mencapai hotel ini dari bandara, saya harus naik MRT dari stasiun Changi, menuju stasiun MRT Farrer Park. Dari stasiun Farrer Park, saya menuju hotel dengan jalan kaki santai selama 5 – 10 menit saja.
Pusat perbelanjaan Mustafa Center cukup besar dan luas. Toko ini menghabiskan area lebih dari 2 blok di sepanjang jalan Syed Alwi. Mustafa Center adalah toko serba ada yang menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Mulai dari jam, perhiasan, sepatu, aksesoris, handphone, barang elektronik, barang pecah belah, parfum, obat-obatan, tas, koper, pakaian, sampai suvenir. Pernak-pernik dan rempah-rempah ala India juga bisa didapatkan di sini. Harga-harganya pun cukup ramah di kantong.
Khusus untuk membeli suvenir, saya lebih suka mampir ke toko-toko kecil di sepanjang jalan Syed Alwi yang memasang plang “3 for 10” atau “5 for 10”. Artinya kita bisa memilih dan mendapatkan 3 – 5 jenis suvenir yang diinginkan dengan hanya membayar 10SGD. Barang-barangnya pun tak jauh berbeda dengan yang ada di Mustafa Center. Berdasarkan pengamatan lebih lanjut, toko-toko jenis ini juga tampak tersebar di seluruh penjuru kota.
Setelah puas berkeliling kota Singapura, malam terakhir saya sempatkan untuk mencicipi makanan ala India. Pilihan jatuh pada salah satu restoran India di Syed Alwi road yang tampak penuh dengan orang-orang India. Saya tergoda untuk mencoba paket Nasi Biryani dengan harga sekitar 6SGD. Saat itulah saya baru menyadari jika lidah saya ternyata kurang cocok menerima masakan asli India. Aroma rempah kari yang begitu kuat masih terasa sangat asing. Porsinya pun sangat banyak, cukup untuk 2-3 orang. Jika kita ingin mencoba menu lain yang sedikit lebih “ringan” dari segi rasa dan porsinya, kita bisa memesan paket roti Naan atau roti  Chapati dengan harga 3 – 4SGD.
biryani set

Hari terakhir di Singapura masih bisa saya manfaatkan untuk mengunjungi salah satu kuil yang letaknya tak jauh dari hotel. Sebuah kuil tua bernama Sri Srinivasa Perumal yang biasa digunakan sebagai tempat beribadah dan perayaan keagaamaan orang-orang India di Singapura. Kita diperbolehkan masuk secara gratis untuk mengamati mereka melakukan ibadah rutinnya.

Saya merasa beruntung memilih menginap di area eksotik seperti kawasan Little India ini. Sungguh puas rasanya jika berwisata di Singapura tak hanya sekedar bersenang-senang di tempat hiburan anak-anak. Tetapi juga dapat mempelajari dan mengamati budaya serta kebiasaan orang India di negeri Singa ini. Ibarat sambil menyelam minum air.*** 

note: Sebuah tulisan lama. Pernah dimuat di harian umum Pikiran Rakyat tahun 2013.

Sunday 26 July 2015

Wisata Air di Pesona Nirwana

Hari libur Lebaran  1436H sudah hampir usai. Tadinya sih waktu libur ingin dihabiskan untuk santai-santai saja di rumah. Soalnya sudah terbayang jalanan macet, mall penuh, dan tempat wisata yang diserbu wisatawan. Duh, langsung kumat deh sakit kepala. Hehe…
Sayangnya kakak Ardhi dan Adek Agi mulai bosan di rumah terus. Ya sudah. Akhirnya diputuskan untuk berenang saja. Di mana? Nyari tempatnya yang ga jauh-jauh deh dari rumah di Soreang, Bandung Selatan.
Kebanyakan orang langsung teringat kawasan wisata di Ciwidey. Di sana ada Kampung Cai di Ranca Upas, kolam air panas Cimanggu, atau yang terbaru, Ciwidey Valley. Iya sih tempatnya asik. Tapi Ciwidey adalah salah satu area yang sangat diminati rata-rata wisatawan domestik saat liburan tiba. Udah bisa ditebak dong kondisi jalannya. Yup… Macet!
Jadi, berenang di ciwidey bukan ide bagus…
Alhamdulillah, saya inget ada tempat wisata lumayan baru di Soreang. Hanya perlu 10 menit  berkendara dari rumah. Nama tempatnya adalah Pesona Nirwana Water Park. Lokasi tepatnya di Kampung Legok Jeungjing, Desa Panyirapan, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung.
Tempat wisata yang diresmikan pada tanggal 1 Oktober 2013 ini, dibangun di atas area seluas 4000 meter persegi. Tebing-tebing setinggi 20 meter, menambah keindahan suasana di sekitar taman air yang ada.
Dok. pribadi

Dok. pribadi


Beberapa wahana yang tersedia diantaranya :
1.       Kolam arus
Berpetualang di wahana dengan kedalaman kurang lebih satu meter ini, akan lebih seru jika dilakukan di atas sebuah pelampung single (10 ribu) atau double (20 ribu). Arus akan menggerakkan pelampung melewati terowongan gua tanaman sembari dimanjakan dengan pemandangan tebing-tebing curam.  Masih belum cukup, pelampung akan terus bergerak melewati terowongan batu buatan yang dilengkapi cucuran air dari stalaktit. Petualangan kolam arus berakhir di samping air terjun mini.
Terowongan gua tanaman. Dok.pri

Terowongan gua buatan. Dok. pri

Akhir petualangan kolam arus/ Lazy River. (Dok. pribadi. Maap ya fotonya foto narsis semua. huehehe) 


2.       Kolam anak
Wahana ini disediakan khusus untuk anak-anak. Tersedia seluncuran mini, sensasi “ember tumpah”, dan air mancur mini yang keluar dari kubah di atas sebuah besi penyangga. Meski kedalamannya dangkal, orang tua tetap harus mendampingi anak-anaknya bermain air loh ya…


3.       Arena seluncuran
Berbagai tipe dan ukuran seluncuran yang ada di tengah area kolam arus, pastinya akan menguji adrenalin. Kita bisa memilih ingin meluncur dengan atau tanpa pelampung.
Dok. pribadi


4.       Jacuzzi
Sementara kolam lainnya berair dingin brrr…, kolam-kolam kecil jacuzzi ini airnya hangat. Cocok digunakan untuk berendam.
Dok. pribadi


Buat saya yang kurang suka suasana ramai dan padat pengunjung, memilih hari sabtu (weekend) untuk datang ke tempat ini, ternyata bukanlah hal yang bijaksana. Apalagi kemarin masih suasana libur sekolah. Meski sukses menghindari macet, saya masih harus rela berbagi tempat dengan ratusan pengunjung lain. Berdesak-desakan di kolam arus. 
Lebih disayangkan lagi ketika banyak perilaku pengunjung yang kurang sadar menjaga kebersihan area sekitar. Bungkus bekas permen dan makanan ringan terserak dan tersebar di berbagai sudut. Bahkan di saluran-saluran air dekat kolam. Padahal tempat sampah yang tersedia cukup banyak. :(
Terlepas dari hal itu, saya salut dengan pihak pengelola yang mampu memanfaatkan area bekas galian C (bahan pasir, kerikil, tanah liat, dll) untuk dibangun menjadi tempat wisata air. Semoga lingkungan yang telah rusak akibat eksploitasi manusia ini masih dapat berguna, minimal untuk masyarakat sekitar. Setidaknya tidak dibuat makin parah dengan membuka perijinan untuk penggalian baru.

Info HTM :
Hari Raya : Rp. 60.000,-
Weekend : Rp. 50.000,-
Hari kerja : Rp. 40.000,-

Thursday 5 February 2015

Johnny Mushroom - Resensi Buku

Realita Dalam Cerita Masyarakat Urban

            ”JOHNNY Mushroom” adalah sebuah judul cerita yang mengusik minat membaca. Ini bukan cerita tentang seorang tukang masak. Ini adalah sebuah cerita yang menggelitik otak untuk berpikir. Tak hanya jalan ceritanya yang unik, cerita ini juga mencoba menyuguhkan sebuah permasalahan sosial yang sebelumnya mungkin tak pernah kita sadari keberadaannya. Zaky Yamani, sang penulis buku, dengan lancar bertutur tentang kehidupan seorang pemuda bernama Yadi alias Johnny.
Johnny pertama kali berkenalan dengan magic mushroom, si jamur memabukkan, saat ia masih SD. Perkenalan tak sengaja itu sempat membuat ayah, ibu dan pamannya mencicipi bagaimana rasanya fly. Seperti yang dijelaskan di dalam buku, perasaan fly adalah perasaan santai, melayang dan damai, kalau tidak bisa dibilang pusing seperti orang terkena vertigo. Niat Johnny untuk membantu ibunya membawakan lauk untuk makan malah berubah menjadi petaka. Semua anggota keluarganya mengalami halusinasi yang mengejutkan.
Efek halusinogenik dari jamur yang ditemukan Johnny kecil di atas tahi sapi itu pernah membuatnya kapok. Tapi kini tidak lagi. Johnny yang telah beranjak dewasa mulai menemukan kesenangan baru bergaul dengan sang jamur.
Sebagai seorang pemuda yang berjiwa hippie, dandanan nyentrik dan kehidupan ala komunitas skinhead telah menjadi sahabat terbaiknya. Pun ketika temannya di masa dewasa kembali memunculkan memori lama tentang jamur itu.
 Johnny akhirnya tak ragu menerima tawaran temannya untuk kembali mencicipi si magic mushroom. Bahkan memunculkan ide untuk kemudian menjadikannya sebuah bisnis yang menjanjikan. Apalagi yang kurang dari si magic mushroom ini. Barang asyik, modal kecil, perawatan tak sulit dan yang penting: legal. Ya, belum ada hukum dan aturan yang melarang jual beli mushroom di Indonesia, tidak seperti ganja.
Cerita Johnny Mushroom hanyalah satu dari 16 cerita pendek yang diramu Zaky dengan sangat apik dan menggelitik. Menggelitik bukan hanya karena beberapa kalimatnya yang memang tertata tak biasa, tetapi di akhir setiap cerita seringkali kita akan dibuat tersenyum miris. Terkadang ingin tertawa dan menangis secara bersamaan.
Sebagian besar cerita yang ditampilkan, berlatar belakang dunia anak jalanan dan kehidupan malam. Dalam cerita ”Getir” dan ”Percakapan Antara Mur dan Baut”, sepertinya Zaky mencoba untuk membuka mata kita semua. Membuka mata bahwa masih banyak hal tak terselesaikan tentang kehidupan keras manusia-manusia urban. Masih banyak air mata berserakan di antara megahnya bangunan pabrik dan rumah sakit.
Cerita ”Nihil” mungkin akan membuat kita sedikit bergidik karena tersaji bak cerita film gangster dan mafia. Sementara cerita ”Saturdays Night’s Lullaby” mungkin akan membuat kita terbahak sejenak sebelum akhirnya kembali merenung. Di sinilah gaya black comedy sedikit muncul. Satu hal yang menarik, dari sekian banyak cerita terselip cerita cinta. Cerita itu mengajak kita untuk menyadari bahwa rasa sayang akan terpancar dengan sendirinya jika semua perasaaan terpusat pada seseorang yang kita cintai, bukan dari benda yang kita berikan sebagai tanda kasih sayang. Beberapa cerita diambil dari sudut pandang yang unik, meskipun ujung-ujungnya tetap mengambil permasalahan berbau kritik sosial.
Meskipun memilih penerbitan secara indie, tetapi kualitas isi buku tetap digarap serius. Desain sampul yang cukup menarik tampil dengan warna sederhana. Seperti isi ceritanya yang kebanyakan disajikan dengan sederhana tetapi bermakna dalam.
Latar belakang sebagai jurnalis Pikiran Rakyat, agaknya membuat Zaky memperoleh banyak kesempatan untuk dapat membuat riset mendalam mengenai kehidupan unik versi masyarakat urban masa kini. Peraih penghargaan Anugerah Adiwarta Sampoerna tahun 2009 untuk kategori liputan investigasi sosial ini, berani menceritakan sebuah kehidupan yang jarang tersentuh dan disadari oleh banyak orang. Sebuah kehidupan penuh problematika yang tak ada habisnya. Dari mulai kehidupan pengamen, berandalan, pengangguran, hingga pembunuh bayaran, semuanya terwakili oleh cerita-cerita yang ada di buku ini.
Buku ini tepat bagi Anda yang ingin ikut berkelana dengan pengalaman pahit getir sang tokoh di dalam setiap cerita. Satu hal yang pasti, buku ini lebih cocok untuk dibaca mereka yang telah berumur 17 tahun ke atas.***

Judul buku  : Johnny Mushroom dan Cerita Lainnya
Penulis        : Zaky Yamani
Editor         : Reita Ariyanti
Penerbit      : Majelis Sastra Bandung
Cetakan      : I. Mei 2011
     Halaman     : vi + 149 halaman

Miracle of Love - Resensi Buku

Menapaki Ujian Hidup dengan Kekuatan Cinta


Perjalanan hidup seseorang di dunia ini bak sebuah alat pemasang tiang pancang bangunan yang selalu bergerak naik turun. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang penuh suka cita, kadang penuh duka cita. Dentang mesinnya yang berisik saat menumbuk tanah seolah mewakili kegundahan hati kala musibah itu datang, dengan menciptakan denyut jantung yang berdebar kencang.
  Diperlukan keteguhan berpikir untuk tetap optimis dan percaya bahwa setiap nikmat dan musibah yang datang menghampiri selalu memiliki hikmah. Agaknya sang penulis buku Miracle of Love, Eko Pratomo dan Dian Syarief, menyadari benar hal itu. Ujian penyakit Lupus telah diberikan Tuhan kepada Dian, seorang mantan manajer Public Relation Bank Bali (kini Bank Permata). Suaminya, Eko Pratomo, memilih untuk selalu setia mendampingi istri yang dikasihinya. Eko Pratomo adalah seorang lulusan ITB dengan spesialisasi bidang aeronautika. Sejak 2010, Eko memutuskan untuk menjadi senior advisor di PT BNP Paribas Investment Partners. Hal itu ia lakukan agar bisa membantu istrinya dalam melakukan kegiatan sosial.
Senyum, tawa, sedu sedan dan perasaan haru mengisi hari-hari mereka. Penderitaan, kegundahan, kebingungan, dan perenungan yang dalam akhirnya dituangkan dalam sebuah buku. Buku berisi kisah inspiratif ini diharapkan dapat menginspirasi orang lain untuk memandang hidup dengan cara yang berbeda.
            Seperti halnya buku-buku bertema kisah inspiratif lainnya, buku ini juga memuat pesan-pesan tersirat untuk dapat dengan cerdik ditangkap oleh pembacanya. Buku Miracle of Love tidak melulu menceritakan kisah perjuangan Dian dalam mengatasi penyakit yang dideritanya. Buku ini juga memuat beberapa penjelasan mengenai penyakit Lupus itu sendiri, juga beberapa puisi yang dipersembahkan Eko untuk Dian. Buku ini lebih berisi kumpulan tulisan Dian dibandingkan dengan Eko Pratomo. Tulisan Eko lebih banyak berfungsi sebagai “jembatan” yang menghubungkan tulisan Dian yang satu dengan tulisan lainnya. Menulis adalah salah satu cara Dian melepas kegundahannya. Beberapa tulisan Dian yang telah dimuat di berbagai media cetak seperti Majalah Femina dan The Jakarta Post, dihadirkan pula dalam buku ini. Tulisan dari beberapa dokter pemerhati Lupus juga dapat dibaca dalam buku ini.
            Dalam buku Miracle of Love, Dian membagi kisah hidupnya saat ia harus menghadapi serangan penyakit Lupus. Pada awal tahun 1999, Dian divonis menderita penyakit SLE (Systemic Lupus Erythematosus) yang hingga kini belum diketahui obatnya. Lupus adalah penyakit autoimun. Pada penderita Lupus, zat anti yang dibentuk sistem kekebalan tubuh yang biasanya berfungsi melindungi tubuh melawan kuman, malah berbalik menyerang jaringan tubuhnya sendiri. Penyakit ini biasanya sulit terdeteksi dengan cepat karena gejalanya sering menyerupai gejala penyakit lain.
Berkali-kali Dian harus dioperasi karena Lupus membuat organ-organ vitalnya mudah terserang infeksi. Akibat Lupus, Dian harus rela kehilangan 95% penglihatannya. Lupus telah membuat otaknya mengalami infeksi sehingga mempengaruhi saraf penglihatannya. Belum lagi efek samping dari obat prednison dosis tinggi yang harus ia konsumsi seumur hidup untuk mengendalikan penyakit Lupusnya. Hal yang paling berat adalah saat pasangan Dian dan Eko harus rela tidak dapat memiliki keturunan. Hal itu terjadi karena rahim Diam terpaksa diangkat akibat terus menerus mengalami perdarahan hebat.
Ujian sakit yang bertubi-tubi tak mampu membuat Dian terpuruk. Sebaliknya, ia bertekad untuk bangkit dan membantu meringankan beban sesama penderita Lupus dan Lovi (Low Vision). Kekuatan Cinta Eko lah yang telah membuatnya terus bertahan. Begitu pula doa dan dzikir yang tak putus Dian gumamkan dalam setiap sujudnya pada Tuhan.
Untuk mewujudkan kepeduliannya pada sesama penderita Lupus, Dian dan Eko mendirikan Yayasan Syamsi Dhuha. Yayasan ini telah mendapat berbagai penghargaan tingkat Internasional. Melalui yayasan yang dikelolanya, Dian merangkul para penderita Lupus terutama yang berada di daerah Bandung, juga dokter dan masyarakat pemerhati Lupus. Bersama-sama mereka, Dian menyelenggarakan berbagai program seperti membuka klinik pengobatan MEDISa, menghimpun bantuan untuk OKM (Odapus/Orang dengan Lupus Kurang Mampu), CFL (Care for Lupus and Low Vision), MIRSa (Majelis Ilmu Riyadhus Sakinah) yang melakukan tafakur tiap hari jumat, dan FINSa untuk mengelola dana zakat dan infak dari masyarakat.   
Satu hal menarik, buku ini dilengkapi dengan Audio book yang berisi intisari dari buku Miracle of Love agar para pembaca dari kalangan LoVi (Low Vision) dapat ikut menikmati.
Melalui kisah perjalanan hidup Dian dan Eko, para pembaca seperti kembali disadarkan akan pentingnya menabung bekal untuk kehidupan abadi di akhirat nanti. Kehidupan yang berorientasi akhirat bukan berarti melupakan kehidupan dunia, melainkan untuk mencapai keseimbangan kehidupan yang baik.
Musibah bisa menghampiri kita kapan saja. Tak perlu harus menunggu terjangkit salah satu penyakit mematikan terlebih dahulu untuk peduli dan memberikan cinta pada sesama manusia. Limpahan cinta yang diberikan Eko pada istrinya terbukti mampu memberikan kekuatan untuk terus berjuang bertahan hidup. Makin banyak masyarakat yang ikhlas memberikan cinta kasihnya pada penderita penyakit mematikan seperti Lupus, makin banyak pula Dian-Dian lainnya yang akan terbantu.*** 

Judul               : Miracle of Love, Dengan Lupus Menuju Tuhan
Penulis             : Eko Pratomo & Dian Syarief
Editor              : Agustin Rozalena
Penerbit           : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan           : 2011
Halaman          : xx + 286 halaman