“DOK, anak saya laki-laki atau
perempuan? Kondisi janinnya sehat-sehat saja, kan?” Pertanyaan tersebut sering terdengar di ruang praktik seorang
dokter ahli kebidanan dan kandungan. Pertanyaan yang hampir selalu ditanyakan
oleh para calon ibu yang sedang memeriksakan kehamilan mereka.
Sang dokter kemudian akan menjelaskan
keadaan janin dalam kandungan si ibu dengan menggunakan alat bernama
Ultrasonografi (USG). Sekarang, instrumen yang satu ini kerap ditemukan di setiap
ruang praktik dokter ahli kandungan karena dapat mempermudah dokter
menganalisis kondisi janin dengan tampilan dua dimensi atau tiga dimensi.
Aplikasi pemakaian USG dalam bidang
kebidanan dan kandungan/obstetri ginekologi diprakarsai oleh seorang ilmuwan
asal Inggris, Ian Donald. Sesuai dengan namanya, prinsip kerja USG memanfaatkan
sistem kerja gelombang ultrasonik alias gelombang suara berfrekuensi tinggi.
SONAR,
RADAR, dan Detektor Logam
Perkembangan penggunaan USG dalam
berbagai bidang ilmu kedokteran saat ini, salah satunya adalah bidang obstetri
ginekologi, berawal dari ditemukannya cara mengukur jarak di dalam air
menggunakan gelombang suara. Pada saat itu dikenal istilah SONAR atau Sound Navigation and Ranging.
Lazzaro Spallanzani, seorang ahli
biologi Italia, dapat dikatakan sebagai orang yang mengilhami penemuan
tersebut. Sekira tahun 1794 ia mendemonstrasikan kemampuan seekor kelelawar
menentukan arah terbang dan mencari mangsa dalam gelap dengan menggunakan
gelombang suara berfrekuensi tinggi (ultrasonik). Kelelawar tersebut
memanfaatkan pantulan suara ultrasonik yang dikeluarkannya setelah menumbuk
suatu objek. Sehingga ia tidak akan menabrak sebuah benda atau sebaliknya dapat
menentukan lokasi mangsanya.
Awal tahun 1826, Jean Daniel Colladon,
seorang ahli fisika dari Swiss berhasil menggunakan sebuah alat yang dinamakan
“underwater bell” untuk
mendeterminasi kecepatan suara dalam air di Danau Geneva. Penemuan ini memacu
para ahli fisika lainnya untuk meneliti dasar ilmu fisika mengenai getaran,
transmisi, dan refraksi gelombang suara. Salah satu ahli fisika yang turut
andil dalam penelitian itu adalah Lord Rayleigh asal Inggris. Tahun 1877 ia
mengemukakan the Theory of Sound yang
intinya menerangkan bahwa gelombang suara adalah sebuah persamaan matematika.
Persamaan ini membentuk dasar teori sistem kerja akustik.
Sistem
deteksi suara dalam air kemudian dikembangkan dan dimanfaatkan untuk
kepentingan navigasi kapal selam selama perang dunia pertama berlangsung,
khususnya setelah kejadian tenggelamnya kapal Titanic pada tahun 1912. Hal itu
terjadi berkat penemuan alat hydrophone
oleh seorang ahli fisika Perancis, Paul Langevin. Alat ini juga memanfaatkan
pantulan gelombang ultrasonik.
Penemuan RADAR (Radio Detection and Ranging) pada tahun 1953 oleh Robert
Watson-Watt juga menerapkan sistem kerja gelombang ultrasonik. Seperti SONAR, alat
ini pun menjadi inspirasi digunakannya ultrasonik dalam bidang obstetri
ginekologi kelak. Hanya saja pemanfaatannya saat itu lebih banyak digunakan
untuk kepentingan pelacakan kapal musuh di udara.
Perkembangan pemakaian ultrasonik di
bidang obstetri ginekologi berikutnya juga tak lepas dari peranan penemuan alat
detektor logam (Ultrasonic Metal Flaw
Detector) pada tahun 1928 oleh Sergei Y. Sokolov, seorang ilmuwan Rusia.
Dengan prinsip yang sama, pada waktu itu alat ini digunakan untuk mengecek
integritas lambung kapal laut dan lempeng baja pelindung tank.
Alat
Diagnosis Penyakit
Bertahun-tahun setelah itu, tepatnya sekira
1920-an, prinsip kerja gelombang ultrasonik mulai diterapkan dalam bidang
kedokteran. Penggunaan ultrasonik dalam bidang kedokteran ini pertama kali
diaplikasikan untuk kepentingan terapi bukan untuk mendiagnosis suatu penyakit.
Hasil penelitian William Fry, dari Universitas Illinois dan Russel Meyers, dari
Universitas Iowa membuktikan bahwa gelombang ultrasonik dapat digunakan untuk
menghancurkan sel-sel basal ganglia pada penderita penyakit Parkinsons.
Kemampuan gelombang ultrasonik dalam menghancurkan sel-sel atau jaringan
“berbahaya” ini kemudian secara luas diterapkan pula untuk penyembuhan
penyakit-penyakit lainnya. Misalnya, terapi untuk penderita arthritis, haemorrhoids, asma, thyrotoxicosis,
ulcus pepticum (tukak lambung), elephanthiasis (kaki gajah), dan bahkan
terapi untuk penderita angina pectoris
(nyeri dada).
Baru pada awal tahun 1940, gelombang
ultrasonik dinilai memungkinkan untuk digunakan sebagai alat mendiagnosis suatu
penyakit, bukan lagi hanya untuk terapi. Hal tersebut disimpulkan berkat hasil
eksperimen Karl Theodore Dussik, seorang dokter ahli saraf dari Universitas
Vienna, Austria. Bersama dengan saudaranya, Freiderich, seorang ahli fisika,
berhasil menemukan lokasi sebuah tumor otak dan pembuluh darah pada otak besar dengan
mengukur transmisi pantulan gelombang ultrasonik melalui tulang tengkorak. Dengan
menggunakan transduser (kombinasi alat pengirim dan penerima data), hasil pemindaian
masih berupa gambar dua dimensi yang terdiri dari barisan titik-titik
berintensitas rendah.
George Ludwig, ahli fisika Amerika,
menyempurnakan alat temuan Dussik. Pemindaian terhadap lokasi batu ginjal pada
suatu jaringan tubuh dapat ia lakukan. Gelombang ultrasonik yang menumbuk pada
jaringan tubuh akan dipantulkan dan hasilnya kemudian dapat dilihat pada layar
osiloskop. Selanjutnya diketahui bahwa gelombang ultrasonik tersebut memerlukan
panjang gelombang tertentu agar suatu objek jaringan tubuh yang densitasnya
beraneka ragam dapat teridentifikasi.
Tahun 1949, John Julian Wild, ahli
bedah Inggris yang bekerja di Medico
Technological Research Institute of Minnesota, berkolaborasi dengan John
Reid, seorang teknisi dari National
Cancer Institute. Mereka melakukan investigasi terhadap sel-sel kanker
dengan alat ultrasonik. Beberapa jenis alat yang dibuat untuk kepentingan investigasi
tersebut antara lain B-mode ultrasound,
transduser/alat pemindai jenis A-mode
transvaginal dan transrectal.
Prinsip alat-alat tersebut mengacu pada sistem RADAR. Oleh sebab itu mereka
kemudian menyebutnya sebagai Tissue RADAR
Machine (Mesin RADAR untuk deteksi jaringan).
Akhirnya penggunaan ultrasonik mulai
merambah bidang obstetri ginekologi. Penelitian yang dilakukan Ian Donald pada
tahun 1955 terhadap kista ovarium dengan menggunakan alat Metal Flaw Detector mulai
membuka peluang dilakukannya berbagai penelitian lanjutan. Penelitian
lanjutan ini tentu saja akan semakin menyempurnakan teknik pemakaian ultrasonik
sampai menjadi seperti sekarang.
Beberapa hasil penelitian lanjutan
yang cukup penting dalam bidang obstetri ginekologi antara lain ditemukannya metode
penentuan ukuran janin (fetal biometry),
teknologi transduser/alat pemindai digital, transduser dua dimensi dan tiga
dimensi modern penghasil tampilan gambar jaringan yang lebih fokus, dan
penentuan jenis kelamin janin dalam kandungan (Fetal Anatomic Sex Assignment/FASA).
Penemuan metode penentuan ukuran
janin dalam kandungan (Fetal Biometry)
dimulai sekira tahun 1980-an. Berdasarkan tampilan gambar pada layar USG,
beberapa parameter yang biasa dijadikan standar penentuan ukuran dan berat janin
antara lain diamater kepala janin (biparietal
diameter/BPD), keliling lingkaran kepala janin (head circumference/HC), panjang tulang paha (femur length/FL), dan lingkar perut (abdominal circumference/AC). Metode fetal biometry ini dapat membantu para dokter ahli obstetri
ginekologi menentukan apakah pertumbuhan janin berjalan normal atau tidak.
Teknologi transduser digital sekira tahun
1990-an memungkinkan sinyal gelombang ultrasonik yang diterima menghasilkan
tampilan gambar suatu jaringan tubuh dengan lebih jelas. Penemuan komputer pada
pertengahan 1990 jelas sangat membantu teknologi ini. Gelombang ultrasonik akan
melalui proses sebagai berikut, pertama, gelombang akan diterima transduser.
Kemudian gelombang tersebut diproses sedemikian rupa dalam komputer sehingga
bentuk tampilan gambar akan terlihat
pada layar monitor. Transduser yang digunakan terdiri dari transduser penghasil
gambar dua dimensi atau tiga dimensi.
Penemuan yang tak kalah pentingnya
adalah penemuan Fetal Anatomic Sex
Assignment (FASA) oleh Dr. John D. Stephens pada 1991. Dengan alat ini
jenis kelamin janin sudah dapat ditentukan mulai 12-14 minggu usia kehamilan
dengan tingkat akurasi 100%.
Berkat penemuan-penemuan spektakuler
tersebut, alat ultrasonik atau USG saat ini sepertinya menjadi alat wajib
seorang dokter ahli obstetri ginekologi. Apalagi setelah diketahui bahwa USG
tidak menimbulkan efek samping baik terhadap kesehatan janin maupun kesehatan
si ibu. Perjalanan panjang perkembangan penggunaan ultrasonik yang mengilhami
penemuan-penemuan tersebut tak boleh dilupakan begitu saja. USG yang digunakan
saat ini adalah hasil kerja keras para ilmuwan di dunia dari berbagai bidang
keilmuan.*** R.A. Laksmi Priti Manohara/ Pikiran Rakyat 2 Maret 2006
No comments:
Post a Comment