Labels

Thursday 27 August 2015

Kuil Sri Srinivasa Perumal

Foto : amikujira

Berdasarkan hasil sensus kependudukan tahun 2000, sebanyak 55,4 % populasi orang India di Singapura adalah pemeluk agama Hindu. Tak heran jika cukup banyak kuil Hindu yang dapat ditemukan di Singapura. Diketahui sebanyak 35 kuil Hindu tersebar di Singapura. Mayoritas dibangun di kawasan Little India. Diantaranya adalah kuil Sri Mariamman dan Sri Srinivasa Perumal yang terletak di area Serangoon Road.
            Saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke salah satu kuil yang letaknya paling dekat dengan hotel yang saya tempati sewaktu berwisata ke Singapura. Kuil itu adalah Sri Srinivasa Perumal. Dari hotel, saya hanya perlu berjalan kaki selama 5 menit.
Pintu gerbang kuil Sri Srinivasa Perumal terlihat terbuka lebar. Sejumlah pria dan wanita India tampak bergantian memasuki bangunan kuil setelah sebelumnya mencuci kaki dan meninggalkan alas kakinya di tempat yang telah disediakan. Meskipun kuil ini milik komunitas pemeluk agama Hindu, warga non Hindu pun diijinkan untuk mengunjunginya. Begitu pula seorang turis seperti saya. Seorang penjaga kuil dengan ramah mempersilakan saya dan keluarga untuk masuk ke dalam kuil dan mengamatinya dari dekat.  Tentu saja saya pun harus melepas alas kaki sebelum memasukinya.
Pintu masuk kuil. Foto :amikjira
Cuci kaki sebelum masuk ke dalam kuil. Foto : amikujira

Bangunan kuil ini diketahui mulai dibangun sekitar tahun 1885 di atas lahan seluas kurang lebih 2 are atau 200 m2. Pembangunan kuil diprakarsai oleh sekelompok anggota komunitas “The East Indian Community” yang cukup berpengaruh di Singapura pada saat itu. Diantaranya Arunachala Pillay, Cootaperumal Pillay, Ramasamy Pillay, Appasamy Pillay, Chockalingam Pillay dan Ramasamy Jamidar. Pada waktu itu, kuil ini diberi nama Narasinga Perumal Kovil.
Bangunan kuil ini kemudian mengalami renovasi dan modifikasi di berbagai area. Salah satunya adalah pembangunan gapura bermenara yang penuh dengan relief berbagai bentuk reinkarnasi Dewa Wishnu. Tinggi menara tersebut mencapai 20 meter, sehingga sering disebut Rajagopuram atau Menara yang besar dan tinggi. Menara tersebut dibangun atas biaya Govindasamy Pillay, juga seorang anggota komunitas “The East Indian Community”. Begitu pula halnya dengan pembangunan aula khusus acara pernikahan yang berada di dalam kuil. Pembangunan aula tersebut sempat diresmikan oleh Yusof bin Ishak, presiden pertama Singapura, pada tahun 1965. Tahun 1966, nama kuil diganti menjadi Sri Srinivasa Perumal. Perumal adalah nama lain dari Dewa Wishnu, sang dewa pelindung. Baru pada tahun 1978 kuil ini diresmikan sebagai  salah satu Monumen Nasional di Singapura.
Bagian dalam kuil terdiri dari langit-langit yang dipenuhi gambar berpola sirkular dan penuh warna. Gambar itu melukiskan 9 planet yang ada di alam semesta. Di sana juga terdapat ruang-ruang paviliun yang dijaga oleh beberapa penjaga kuil berbusana Dhoti. Dhoti adalah pakaian khas yang biasa digunakan pria India. Pakaian ini terdiri dari lembaran kain putih atau kuning yang panjang. Kain itu dililitkan di bagian pinggang, diikat pada celah paha, kemudian disangkutkan di bahu.
Langit-langit bergambar pola sirkular. Foto: amikujira

Penjaga pintu salah satu ruang paviliun berpakaian dhoti. Foto : amikujira

Masing –masing ruangan tersebut merupakan tempat pemujaan pada dewa dan dewi Hindu yang berbeda-beda. Kuil ini didedikasikan untuk pemujaan terhadap Krishna, salah satu bentuk reinkarnasi Dewa Wishnu, Oleh karena itu semua ruangan dan patung-patungnya  berhubungan dengan kehidupan dewa Wishnu. Mulai dari patung burung garuda yang merupakan kendaraan dewa Wishnu, sampai ruang pemujaan sang dewi kesejahteraan dan kecantikan, Sri Mahalakshmi. Dewi Lakshmi adalah salah satu istri dewa Wishnu.
Di setiap ruangan, penjaga-penjaga kuil akan membantu jemaat untuk melakukan ritual ibadah mereka. Sambil membawa gantha (lonceng kecil), mereka melakukan gerakan tubuh anjali, atau menangkupkan kedua tangan di dada untuk memberi hormat pada sesama. Lalu dilanjutkan dengan meletakkan kedua tangan di atas kepala untuk memberi hormat pada dewa dan dewi.    
Ritual ibadah. Foto : amikujira

Detail Rajagopuram. Foto : amikujira

   Beberapa festival keagamaan sering dilakukan di Kuil Sri Srinivasa Perumal. Kuil ini diketahui merupakan titik awal dari pelaksanaan perayaan keagamaan, Festival Thaipusam. Festival tahunan ini biasanya diselenggarakan pada pertengahan Januari, saat bulan purnama. Perayaan akan dimulai sekitar pukul 9.30 pagi di kuil Sri Srinivasa Perumal, diikuti oleh banyak partisipan pria dan wanita beragama Hindu yang ingin melakukan penebusan dosa dan mengharap berkah dari Dewa Murugan. Mereka akan melakukan perjalanan panjang melalui Orchard Road dan Penang Road sambil membawa cawan berisi susu serta membawa Kavadis. Kavadis adalah potongan kayu atau baja berbentuk semi sirkular yang dikaitkan bahkan menembus kulit beberapa partisipan pria. Perayaan selanjutnya akan berakhir di kuil Sri Thandayuthapani di Tank Road sekitar pukul 11 malam.

Hal yang cukup saya sesali adalah Festival Thaipusam 2013 di Singapura dilaksanakan tanggal 27 Januari. Sedangkan perjalanan wisata yang saya lakukan berakhir di tanggal 24 Januari. Jadi, saya tidak dapat menyaksikan kemeriahan itu dengan mata kepala saya sendiri. Tampaknya lain kali saya harus lebih cermat memilih waktu berwisata.***

*)Tulisan ini telah dimuat di harian umum Pikirian Rakyat tahun 2013, dengan melalui proses editing.

MENGENAL KOMUNITAS INDIA DI SINGAPURA


Tetesan hujan mengawali pagi pertama saya di Singapura. Dari balik jendela kamar hotel yang berada di lantai empat, saya mulai tertarik mengamati keadaan sekitar. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul 9.30 pagi, tetapi matahari masih malu-malu menampakkan dirinya. Meski begitu, telah banyak orang lalu lalang di sekitar Syed Alwi Road. Sebagian besar adalah warga Singapura keturunan India. Udara dingin dan awan mendung agaknya tak menyurutkan semangat mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Hotel yang saya tempati memang berada di kawasan Little India. Di area ini, saya merasakan suasana yang sedikit berbeda, seperti bukan berada di Singapura yang notabene mayoritas bermata sipit. Sesuai namanya, kawasan Little India merupakan area yang ditempati oleh sebagian besar masyarakat Singapura keturunan India untuk tinggal, beribadah dan beraktivitas. Berdasarkan profil data kependudukan tahun 2012,  warga  keturunan India diketahui menguasai 7,9% dari populasi total warga Singapura. Sedangkan populasi warga negara keturunan China/Tionghoa sebanyak 77%, Melayu 14%, dan lain-lain 1,4%.
Pada kesempatan wisata kali ini, saya melancong tak sendiri. Saya dan suami mengajak anak dan janin dalam kandungan untuk berwisata selama 3 hari 2 malam di Singapura. Tujuan utama sebenarnya mengajak anak saya ke Universal Studio yang terletak di pulau Sentosa. Tetapi saya sengaja memilih tempat menginap di kawasan Little India dengan alasan ingin melihat dari dekat bagaimana orang-orang India beraktivitas, tanpa perlu pergi ke Negara India. Lagipula saya juga ingin mencoba beberapa kuliner ala India. Saya ingin wisata singkat ke Singapura ini bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Sungguh menarik berada lebih dekat dengan komunitas orang India. Di Indonesia, terutama di Bandung, jarang sekali saya temui pemandangan orang-orang India yang lalu lalang memakai pakaian khas mereka. Hal itu sangat berbeda dengan apa yang saya temui di kawasan Little  India ini. Bangunan-bangunan yang banyak dilengkapi tulisan India juga semakin mewarnai suasana ala negeri Bolywood.
Pemandangan di depan hotel Arianna, pusat perbelanjaan Mustafa
@Universal Studio. Mamah-mamah India berkain sari


Bangsa Inggris lah yang memegang peranan penting dalam proses migrasi orang-orang India dari negeri asalnya ke negara Singapura. Sebagai negara penjajah India dan Singapura, sekitar tahun 1819, bangsa Inggris membawa orang-orang India itu sebagai tahanan, pekerja, atau tentara. Populasi orang India tersebut kebanyakan pria usia produktif. Baru sekitar pertengahan abad 20, populasi tersebut mulai berkembang dan memunculkan rasio gender yang lebih seimbang, serta rentang usia yang lebih bervariasi.
Di negeri Singa ini, etnis India hidup berbaur dengan etnis lainnya. Mereka bebas beraktivitas tanpa perlu melepaskan atribut dan simbol-simbol khas budaya India. Begitu banyak perempuan keturunan India yang berjalan-jalan di tempat umum menggunakan kain sari, lengkap dengan tanda merah di dahi.  Beberapa pria tak ragu memakai turban (pagri) ala india. Sementara ada pula pria yang mengecat kulit kepala mereka yang plontos dengan warna kuning dan tanda kuning di dahinya. Cukup kontras dengan warna kulitnya yang rata-rata berwarna gelap.
Pada umumnya, orang-orang India tersebut diketahui beragama Hindu. Hal itu terlihat dari busana serta atribut yang mereka pakai. Pakaian itu mencirikan simbol-simbol khas agama Hindu. Begitu pula warna-warna merah dan kuning di dahi, yang memiliki filosofinya sendiri. Tetapi kemudian saya juga menemukan banyak perempuan India yang yang memakai jilbab. Ternyata data statistik menunjukkan bahwa orang India di Singapura juga banyak yang memeluk agama Islam.  Sekitar 17 % dari total masyarakat Singapura  pemeluk agama Islam adalah berasal dari etnis India.
Pemerintah Singapura agaknya memang mengakui dan menghormati keberadaan etnis India ini. Kita dengan mudah akan menemukan sejumlah aksara Tamil di berbagai tempat umum atau transportasi publik seperti di dalam stasiun dan gerbong-gerbong MRT (Mass Rapid Transit). Tulisan tersebut berdampingan dengan tulisan berbahasa Inggris, Cina dan Melayu.
Aksara Tamil di kawasan MRT


Kawasan Little India terletak di sebelah timur sungai Singapura, di seberang China Town, dan sebelah utara Kampong Glam. Tepatnya terletak di dekat Serangoon Road, sebuah kawasan fenomenal yang belum lama ini diabadikan dalam sebuah judul film “Serangoon Road”. Kawasan Little India dapat dicapai setidaknya melalui stasiun MRT Little India dan stasiun Farrer Park.
Naik MRT merupakan pilihan transportasi yang cukup murah dan mudah dibandingkan menggunakan bus dan taksi. Dengan mengeluarkan biaya rata-rata 1,5 – 3SGD per orang untuk sekali perjalanan (1SGD sekitar Rp 8000,00), kita dapat mencapai area yang dituju dengan waktu yang cukup singkat. Apalagi stasiun-stasiun MRT ini tersebar di setiap sudut kota Singapura, dengan jarak yang cukup  berdekatan. Jadi, turis seperti saya merasa sangat terbantu karena tak perlu jalan kaki teralu jauh untuk mencapainya.  
Satu hal penting yang perlu diingat adalah jangan pernah melupakan arah pintu keluar terdekat kalau tidak ingin berjalan berputar-putar mencari lokasi yang dituju. Hal itu karena rata-rata pintu keluar dari setiap stasiun MRT menuju jalan-jalan raya terdekat, terdiri dari pintu A-I. Pengalaman lupa itu sempat saya alami karena masih merasa asing dengan kondisi jalan di Singapura. Saat itu, sepotong peta kota pun tak mampu membantu banyak karena peristiwa itu terjadi di malam hari.

Secara umum, biaya wisata di Singapura memang tampak lebih mahal dibandingkan wisata ke negara-negara di Asia tenggara lainnya. Standar tarif hotel bintang 2 seperti hotel Arianna yang saya tempati, bisa menghabiskan dana Rp 600.000,00 per malam. Fasilitas yang diperoleh yaitu kamar sederhana berukuran kurang lebih 3 x 4 m2, AC, wifi gratis, dan TV kabel. Jika kita tak membawa serta keluarga, kita bisa memilih hotel lain dengan konsep “dormitory” (satu kamar terdiri dari beberapa tempat tidur bertingkat, dengan kamar mandi terpisah). Tarifnya hanya menghabiskan Rp 300.000,00 – 400.000,00 per malam. Resikonya, kita harus mau berbagi kamar dengan para pelancong lain.

Hotel Arianna tempat saya menginap terletak di Syed Alwi Road. Hotel itu berada tepat di seberang pusat pertokoan Mustafa Center yang selalu buka selama 24 jam. Untuk dapat mencapai hotel ini dari bandara, saya harus naik MRT dari stasiun Changi, menuju stasiun MRT Farrer Park. Dari stasiun Farrer Park, saya menuju hotel dengan jalan kaki santai selama 5 – 10 menit saja.
Pusat perbelanjaan Mustafa Center cukup besar dan luas. Toko ini menghabiskan area lebih dari 2 blok di sepanjang jalan Syed Alwi. Mustafa Center adalah toko serba ada yang menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Mulai dari jam, perhiasan, sepatu, aksesoris, handphone, barang elektronik, barang pecah belah, parfum, obat-obatan, tas, koper, pakaian, sampai suvenir. Pernak-pernik dan rempah-rempah ala India juga bisa didapatkan di sini. Harga-harganya pun cukup ramah di kantong.
Khusus untuk membeli suvenir, saya lebih suka mampir ke toko-toko kecil di sepanjang jalan Syed Alwi yang memasang plang “3 for 10” atau “5 for 10”. Artinya kita bisa memilih dan mendapatkan 3 – 5 jenis suvenir yang diinginkan dengan hanya membayar 10SGD. Barang-barangnya pun tak jauh berbeda dengan yang ada di Mustafa Center. Berdasarkan pengamatan lebih lanjut, toko-toko jenis ini juga tampak tersebar di seluruh penjuru kota.
Setelah puas berkeliling kota Singapura, malam terakhir saya sempatkan untuk mencicipi makanan ala India. Pilihan jatuh pada salah satu restoran India di Syed Alwi road yang tampak penuh dengan orang-orang India. Saya tergoda untuk mencoba paket Nasi Biryani dengan harga sekitar 6SGD. Saat itulah saya baru menyadari jika lidah saya ternyata kurang cocok menerima masakan asli India. Aroma rempah kari yang begitu kuat masih terasa sangat asing. Porsinya pun sangat banyak, cukup untuk 2-3 orang. Jika kita ingin mencoba menu lain yang sedikit lebih “ringan” dari segi rasa dan porsinya, kita bisa memesan paket roti Naan atau roti  Chapati dengan harga 3 – 4SGD.
biryani set

Hari terakhir di Singapura masih bisa saya manfaatkan untuk mengunjungi salah satu kuil yang letaknya tak jauh dari hotel. Sebuah kuil tua bernama Sri Srinivasa Perumal yang biasa digunakan sebagai tempat beribadah dan perayaan keagaamaan orang-orang India di Singapura. Kita diperbolehkan masuk secara gratis untuk mengamati mereka melakukan ibadah rutinnya.

Saya merasa beruntung memilih menginap di area eksotik seperti kawasan Little India ini. Sungguh puas rasanya jika berwisata di Singapura tak hanya sekedar bersenang-senang di tempat hiburan anak-anak. Tetapi juga dapat mempelajari dan mengamati budaya serta kebiasaan orang India di negeri Singa ini. Ibarat sambil menyelam minum air.*** 

note: Sebuah tulisan lama. Pernah dimuat di harian umum Pikiran Rakyat tahun 2013.