Labels

Saturday 3 February 2018

Mengenang Tragedi Letusan Krakatau bersama Orkestra Bandung Phillharmonic (2)

Konser Krakatoa
Setelah duduk manis di kursi yang saya pilih, sebuah kejutan datang dari arah belakang ruangan. Suara koor beberapa alat musik tiup seperti flute, clarinet, dan french horn, menyapa para penonton. Otomatis kami menengok ke belakang, menikmati alunan musik yang berlangsung singkat. Sebuah pembuka pertunjukkan yang cantik.
Kemudian, para pemain musik naik ke atas panggung, dipimpin oleh sang Maestro pengaba, Robert Nordling. Para penonton kembali mendapat kejutan. Kami diminta berdiri. Lalu, orkestra memainkan lagu Indonesia Raya. Suasana langsung berubah khidmat. Tiba-tiba saya merasa haru dan tak kuasa meneteskan air mata penuh kebanggaan. Tanpa dikomando, para penonton bersama-sama ikut menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia itu.
Orkestra menampilkan lima lagu dari berbagai komponis Indonesia dan dunia. Lagu Krakatoa sendiri, baru dimainkan setelah sesi intermission.
Lagu pertama yang dimainkan adalah Suite Peer Gynt no. 1 Op. 46 karya komponis Edvard Grieg (1843 – 1907). Lagu ini terdiri dari 4 bagian, yaitu Morning Mood, The Death of Ase, Anitra’s Dance, dan In the Hall of the Mountain King. Komposisi ini dibuat untuk melengkapi musik pengiring sebuah pertunjukkan drama dengan judul sama, yang ditulis seorang penulis Norwegia bernama Henrik Ibsen.
Lagu kedua berjudul Malam di Gunung Bald karya komponis Modest Mussorgsky (1839–1881), yang diaransemen lanjut oleh Nikolai Rimsky-Korsakov (1844-1908). Komposisi ini terinspirasi oleh legenda Rusia. Sayangnya, Mussorgsky meninggal dunia tanpa sempat merampungkan karyanya ini. Rimsky-Korsakov lah yang akhirnya menggubah karya Mussorgsky menjadi sebuah nomor musik yang dibuat untuk menimbulkan perasaan takut dan mencekam bagi para pendengarnya.
Lagu ketiga adalah Aki Manggul Awi, sebuah tembang Sunda klasik gubahan Tan De Seng, seorang musisi Sunda beretnis Cina. Lagu ini diaransemen oleh Fauzie Wiriadisastra menjadi sebuah ansambel tiup. Karya ini menceritakan seorang kakek yang bekerja keras menghidupi keluarganya. Di beberapa daerah di Indonesia, pria-pria berumur 70-an tahun, seringkali melewati jalur berbahaya sambil memanggul beban berat di punggung mereka yang ringkih.
Krakatoa karya Stacy Garrop baru ditampilkan setelah sesi intermission. Komposisi ini dibuat dengan menonjolkan permainan solo biola. Michael Hall adalah seorang violis (pemain biola) yang ditunjuk untuk membuat lagu ini terdengar lebih meyayat hati. Para pemusik Bandung Phillharmonic berhasil mengimbangi permainan biola Michael Hall. Sebagai penonton, saya terbawa suasana mencekam, seolah-olah hidup pada zaman di mana gunung Krakatau meletus. Instrumen gesek dan perkusi mengikuti pola ledakan Krakatau yaitu Imminet, Eruption, dan Dormant. Permainan Orkestra Bandung Phillharmonic mampu membuat jantung berdebar keras, untuk kemudian kembali tenang. Seiring dengan penggambaran gunung krakatau yang mulai dorman/tertidur di bawah laut dan bersiap menciptakan gunung baru, Anak Krakatau.
Lagu berikutnya adalah Sungai Moldau karya Bedrich Smetana (1824-1884). Komposisi ini menggambarkan kecintaan Bedrich pada tanah airnya, Cekoslowakia. Karya ini membawa kita menyusuri Sungai Moldau, sungai terpanjang di Ceko. Para penonton seakan-akan ikut merasakan gemerlap air sungai, melihat aktivitas penduduk di desa di tepi sungai, memandang kastil megah dan derap kuda-kuda yang berlarian.
Sebenarnya Sungai Moldau adalah karya terakhir dalam rangkaian lagu wajib yang tercantum dalam buku panduan. Tetapi, seperti pada umumnya sebuah konser musik, biasanya para pemusik menampilkan karya tambahan sebagai bonus.
Kali ini, lagu Bengawan Solo mengalun di Ballroom Hotel Hilton. Tampil menggantikan Robert Nordling, seorang pengaba muda bernama Wishnu Dewanta, memimpin orkestra dengan mulus. Satu kejutan tambahan untuk saya pribadi, ternyata penonton yang duduk di sebelah kanan saya adalah kakak dari pengaba muda itu. Sebuah kebetulan yang menyenangkan!

Pertunjukkan musik klasik berakhir pukul 21.30. para penonton satu per satu keluar ruangan dengan tertib. Semoga suatu saat nanti, saya punya kesempatan untuk kembali menyaksikan orkestra lagi.***

Mengenang Tragedi Letusan Krakatau bersama Orkestra Bandung Phillharmonic (1)

Pada tahun 1883, Gunung Krakatau, sebuah gunung berapi di Selat Sunda, telah menorehkan kenangan mengerikan. Sebuah letusan dahsyat mengguncang pulau-pulau di sekitarnya, sembari memuntahkan lahar, debu, awan panas, dan memicu tsunami. Puluhan ribu orang meninggal pada saat itu. Ledakan-ledakan besar terdengar sangat keras. Begitu keras sehingga terdengar sampai 5000 km jauhnya. Efek yang ditimbulkan sangat parah. Pulau di mana Gunung Krakatau berada, tenggelam. Berhari-hari, langit di wilayah Indonesia menjadi gelap tertutup debu vulkanik.
            Bencana alam mengerikan itu menggugah Stacy Garrop, seorang komponis dari Amerika, menciptakan karya musik yang indah berjudul Krakatoa. Karya itu kemudian dimainkan oleh kelompok orkestra Bandung Phillharmonic di Hotel Hilton, Bandung, pada tanggal 27 Januari 2018. Konser bertajuk “Krakatoa” ini, dihadiri oleh ratusan orang penggemar musik klasik. Duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph R. Donovan, juga turut hadir sebagai undangan. Selain Krakatoa, ada empat lagu lainnya yang dimainkan orkestra asal Bandung ini.
            Bagaimana Bandung Phillharmonic menerjemahkan karya Stacy Garrop? Ini dia pengalaman kedua saya menikmati pagelaran musik orkestra. Sebelumnya, saya juga sempat menonton penampilan Bandung Phillharmonic di Gedung Sabilulungan, Soreang, tahun 2017 lalu.

Persiapan Menonton Konser
Dengan memegang tiket reguler seharga Rp. 150.000,00 yang dibeli secara on line, saya merasa cukup beruntung bisa termasuk ke dalam salah satu penonton yang menyaksikan pagelaran musik ini. Menurut jadwal, konser akan dimulai pukul 19.00 sampai 21.00. Biasanya penonton diharapkan hadir satu jam sebelum pertunjukkan untuk melakukan proses registrasi ulang. Setelah proses registrasi selesai, pintu ruangan biasanya akan dibuka setengah jam sebelum acara dimulai. Hal ini dimaksudkan agar para penonton bisa tertib menempati kursi tertentu yang telah disediakan (disesuaikan dengan tipe tiketnya), sehingga acara bisa dimulai tepat waktu.
Pada kenyataannya, pertunjukkan terlambat setengah jam dari jadwal (hal ini juga terjadi di Gedung Sabilulungan). Entah kenapa, para pemegang tiket premium, VIP, dan VVIP, banyak yang tidak disiplin mengikuti aturan main yang sudah baku pada setiap pertunjukkan musik klasik. Sayangnya, panitia juga tak tegas menyikapinyanya. Sangat berbeda ketika saya menonton pertunjukkan musik klasik di IFI (Pusat kebudayaan Prancis) Bandung. Meski hanya merupakan pagelaran musik kecil-kecilan (hanya berupa resital atau ansamble), “Gate” atau pintu ruangan akan langsung ditutup panitia sesuai jadwal. Bagi yang terlambat datang, harus rela menunggu dan baru bisa masuk ke dalam ruangan ketika jeda antar sesi berlangsung, atau ketika lagu pertama usai dimainkan. Aturan ketat seperti itu diberlakukan agar penonton yang sudah lebih dulu datang, tidak terganggu dengan lalu lalang orang terlambat yang sibuk mencari kursi.
Beberapa aturan/etika baku saat menyaksikan pertunjukkan musik klasik : 

1.      Tidak datang terlambat.
2.      Mengenakan pakaian sopan. Beberapa pertunjukkan musik seringkali malah meminta penonton memakai busana formal.
3.      Penonton dilarang membawa makanan dan minuman ke dalam ruangan. Biasanya panitia akan menggeledah tas kita di pintu masuk.
4.      Mengubah setingan telepon genggam menjadi silent. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketenangan saat pertunjukkan berlangsung.
5.      Menonaktifkan flash ketika akan mengambil gambar/memotret, agar para pemain musik tidak terganggu konsentrasinya.
6.      Dilarang merekam. Hal ini berhubungan dengan perlindungan hak cipta.
7.      Bertepuk tangan hanya setelah satu lagu selesai dimainkan. Contoh : jika sebuah lagu terdiri dari 4 bagian, tepuk tangan dilakukan setelah bagian ke-4 selesai dimainkan.
8.      Jika ingin ke toilet atau sekadar ingin menikmati hidangan kecil/minuman, kita bisa memanfaatkan intermisssion atau jeda antara sesi musik. Intermission ini biasanya berlangsung 5 – 10 menit.
(bersambung)