Labels

Wednesday 19 June 2013

Pseudomonas cocovenenans, Biang Keladi Keracunan?


Kasus tewasnya
10
orang warga
Dusun Beran,
Desa Kanigoro,
Kec.
N g a b l a k ,
Kab. Magelang beberapa waktu
lalu (bulan Agustus 2007) telah membuat sibuk kalangan
medis Dinkes Jateng. Pasalnya,
penyebab kematian ke-
10 orang tersebut masih menjadi
tanda tanya besar.
Kematian
mereka yang terasa mendadak
sangat meresahkan warga sekitar.
Bayangkan saja, dari sekitar
31 orang yang terjangkit penyakit
misterius tersebut, 10 orang
di antaranya hanya sanggup
bertahan hidup dalam waktu
singkat.
Tak hanya Kepala Dinkes Jateng
yang dibuat pusing tujuh
keliling, melainkan Menteri Kesehatan
RI Siti Fadilah Supari
pun sampai turun tangan untuk
mencoba mencari dan menjelaskan
penyebab kematian misterius
itu. Hasil penyelidikan yang
dilakukan oleh pihak Dinkes Jateng
terhadap sampel makanan,
air, dan muntahan penderita
ternyata menunjukkan hasil negatif
tercemar mikroorganisme
berbahaya.
Tak puas dengan hasil tersebut,
pihak Dinkes Jateng kembali
mengirimkan sampel untuk
dikirim dan dianalisis lebih lanjut
ke Litbang Depkes dan Laboratorium
Eijkman Jakarta. Kali
ini, spesimen yang dikirimkan
berupa darah, urine, kotoran,
serta uras lambung penderita.
Kesimpulan sementara didapat
dari hasil analisis lanjutan,
penyebab kematian ke-10 orang
itu diduga akibat keracunan
bakteri Pseudomonas cocovenenans
yang berkembang biak
pada tempe gembus. Hal itu resmi
disampaikan Menkes di Departemen
Kesehatan RI, Jakarta
Selatan, Selasa (31/7/07). Lebih
lanjut, Menkes mengatakan, ada
beberapa dugaan yang menyebabkan
kematian warga Magelang
yakni keracunan logam seperti
arsen, kadmium, kromium,
serta keracunan bahan biologis,
meskipun akhirnya dugaan tersebut
terbantahkan oleh hasil
pemeriksaan epidemiologis.
Pernyataan tersebut agaknya
malah mendatangkan sedikit
kontroversi bahkan menambah
kecemasan sekaligus kebingungan
warga sekitar Dusun Beran
Magelang. Warga tidak merasa
telah memakan tempe gembus
sebelum kejadian. Mereka tidak
terbiasa mengonsumsi tempe
gembus yang berasal dari ampas
kedelai itu, karena untuk mendapatkannya
mereka harus menempuh
jarak berkilo-kilo meter
jauhnya.

Masih kontroversi
Dugaan keracunan tempe
gembus di Magelang ini adalah
yang pertama kalinya di Indonesia
dengan korban sebanyak itu.
Ditemukannya bakteri Pseudomonas
cocovenenans di tempe
gembus termasuk juga termasuk
hal yang baru. Biasanya,
bakteri beracun tersebut ditemukan
di tempe bongkrek. Menurut
Dirjen Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan
(P2PL) I Nyoman Kandun,
debut P. cocovenenans di
tempe gembus kemungkinan
karena media tempe gembus cocok.
Bakteri P. cocovenenans
memang dapat hidup di lingkungan
dengan kelembapan cukup
dan suka lingkungan berair.
Berbeda dengan tempe bongkrek
yang berasal dari hasil fermentasi
ampas kedelai biasa,
tempe gembus adalah sejenis
makanan hasil fermentasi yang
berasal dari ampas kelapa. Khusus
untuk tempe bongkrek,
hampir semua masyarakat mengenal
tempe jenis ini sebagai
makanan yang paling sering menyebabkan
keracunan makanan.
Bahkan, begitu banyaknya kasus
keracunan makanan ini hingga
akhirnya menyebabkan kematian.
Bakteri P. cocovenenans inilah
mikroorganisme penyebab
keracunan tersebut.
P. cocovenenans yang menjadi
biang kerok ini dikenal juga
dengan nama bakteri Burkholderia
cocovenenans. Bakteri ini
diketahui memproduksi dua jenis
toksin, toxoflavin, dan asam
bongkrek. Produksi kedua jenis
toksin ini sangat dipengaruhi
oleh pertumbuhan bakteri P.
cocovenenans pada media yang
cocok. Toxoflavin diketahui memiliki
aktivitas sebagai pembawa
elektron. Sedangkan, asam
bongkrek diketahui memiliki kemampuan
menghambat aktivitas
fosforilasi oksidatif dalam organel
mitokondria. Asam bongkrek
inilah yang dituduh sebagai
senyawa penyebab keracunan
makanan di Magelang.
Berdasarkan hasil penelitian,
penurunan sebanyak 2 persen
larutan NaCl dan asam asetat
dapat digunakan untuk menurunkan
pH dalam media menjadi
4,5. Kondisi ini dipercaya dapat
mencegah pembentukan
toksin pada tempe. Hal itu terjadi
karena pertumbuhan bakteri
P. cocovenenans pada media
bongkrek tidak akan berjalan
optimal jika pH media berada di
bawah 5,5.
Hasil fermentasi bakteri P. cocovenenans
diketahui secara luas
penggunaannya dalam bentuk
produk olahan jagung seperti
yang umum dilakukan di negara
Cina. Produk tersebut dibuat
dengan cara merendam jagung
dalam air pada suhu kamar
selama 2-4 minggu. Hasil
rendaman itu kemudian dicuci
dan dihancurkan sampai menjadi
bubuk tepung untuk digunakan
sebagai bahan makanan
lain. Tampaknya, P. cocovenenans
yang beracun itu tumbuh
baik pada produk yang lembap
selama proses penyimpanan di
suhu kamar. Mikroorganisme
itu pula yang diduga kuat mengeluarkan
toxoplavin dan
asam bongkrek seperti halnya
pada tempe bongkrek.
Berbeda dengan dugaan yang
dituduhkan pada P. cocovenenans
sebagai biang keladi kematian
misterius di Magelang, Mari
Astuti, seorang Guru Besar Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas
Gadjah Mada (UGM),
justru menyangsikan hal tersebut.
Ia mengatakan, selama ini
belum pernah ditemukan bakteri
P. cocovenenans yang tumbuh
di ampas kedelai. Kadar pH
tempe gembus pun biasanya cukup
rendah yakni sekitar 5,3 saja.
Rendahnya pH tempe gembus
terjadi karena proses pembuatannya
melalui beberapa tahap
penyaringan.
Selain itu, pada kondisi pH
yang rendah tersebut, bakteri
akan sulit untuk tumbuh. Menurut
dia, setelah ampas dicuci kemudian
disaring dan di-press
untuk mengurangi kadar air lalu
dikukus selama 90 menit. Hal ini
menjadikan pH tempe gembus
di bawah 6. Mari menilai, Depkes
seharusnya melakukan cek
secara rinci ke lapangan sebelum
membuat pernyataan tentang
penyebab kematian tersebut.
Apalagi hal ini berkaitan dengan
makanan rakyat.
Dengan kata lain, mari mengatakan,
pemerintah terlalu
tergesa-gesa dalam memvonis P.
cocovenenans sebagai penyebabnya
hingga meresahkan masyarakat
yang biasa mengonsumsi
tempe gembus. Ia menduga,
kemungkinan terjadinya
kematian misterius itu berasal
dari bakteri patogen seperti E.
coli. Dugaan itu didasarkan atas
gejala yang terjadi mirip dengan
penyakit yang disebabkan E. coli
seperti diare, mual, pusing,
dan turunnya jumlah trombosit
dalam darah.
Teliti sebelum membeli
Khusus untuk toksin yang
biasa dikeluarkan oleh tempe
bongkrek, bagi mereka yang mengonsumsinya
pada dosis tinggi
dapat menyebabkan kematian
dalam waktu kurang dari empat
hari. Pertumbuhan bakteri dari
jenis pseudomonas sebenarnya
dapat dihambat, dengan cara
menurunkan pH ampas kelapa
yang akan difermentasi sampai
5,5. Pada pH ini, jamur tempe
yang menguntungkan masih tetap
dapat tumbuh dengan baik,
sedangkan pertumbuhan bakterinya
akan terhambat.
Hasil penelitian yang dilakukan
di laboratorium menunjukkan,
ada beberapa faktor yang
memengaruhi mengapa peristiwa
keracunan hanya terjadi pada
sejumlah kecil makanan dan
terbatas pada daerah-daerah
tertentu. Salah satunya adalah
tipe dan konsentrasi lipid (lemak)
pada asam bongkrek yang
dihasilkan P. cocovenenans.
Efek konsentrasi lipid dan tipe
asam lemak pada asam bongkrek
diteliti dengan menambahkan
sejumlah lemak kelapa yang
berbeda atau asam-asam lemak
bebas untuk proses penghilangan
lemak dan sterilisasi medium
kelapa yang diperkaya (dRCM/
defatted Rich Coconut Media).
Medium ini kemudian diinokulasi
oleh bakteri P. cocovenenans
dan diinkubasi pada suhu
30 derajat C selama 5 hari.
Sejumlah asam bongkrek
akan terbentuk. Kuantitasnya
diketahui dengan melakukan
analisis menggunakan metode
HPLC. Lemak kelapa dengan
konsentrasi 10 persen atau kurang,
tidak menunjukkan adanya
pembentukan asam bongkrek
meskipun pertumbuhan
bakteri P. cocovenenans diketahui
mencapai pertumbuhan optimumnya.
Sedangkan, konsentrasi
lemak kelapa sebanyak 40
persen dan 50 persen menunjukkan
adanya pembentukan
asam bongkrek sebanyak 1,4 mg
(berat kering) pada kondisi pertumbuhan
bakteri P. cocovenenans
yang sama.
Dari delapan tipe asam lemak
yang dijadikan sampel uji, hanya
asam laurat, myristat, dan palmitat
yang dapat menstimulasi
produksi toksin. Saat dibandingkan
antara asam lemak bebas
dan tingkat saturasi berbeda, sejumlah
asam bongkrek yang signifikan
(2,62 mg/berat kering)
hanya diproduksi oleh asam oleat.
Data-data tersebut mengindikasikan
bahwa konsentrasi dan
tipe lipid dalam suatu substrat
sangat memengaruhi pembentukan
asam bongkrek. Hal itulah
yang menyebabkan tak semua
makanan yang dihinggapi
P. cocovenenans menghasilkan
asam bongkrek.
Terlepas dari benar tidaknya
toksin dalam P. cocovenenans
adalah penyebab kematian misterius
di Magelang, pengetahuan
konsumen dalam proses pengolahan
suatu makanan yang
akan dikonsumsi sangatlah perlu
diketahui. Bukan hanya harus
teliti sebelum membeli, tetapi
juga teliti sebelum mengonsumsi.
***
R.A. Laksmi Priti Manohara/Pikiran Rakyat, 9 Agustus 2007

No comments:

Post a Comment