Labels

Saturday 3 February 2018

Mengenang Tragedi Letusan Krakatau bersama Orkestra Bandung Phillharmonic (1)

Pada tahun 1883, Gunung Krakatau, sebuah gunung berapi di Selat Sunda, telah menorehkan kenangan mengerikan. Sebuah letusan dahsyat mengguncang pulau-pulau di sekitarnya, sembari memuntahkan lahar, debu, awan panas, dan memicu tsunami. Puluhan ribu orang meninggal pada saat itu. Ledakan-ledakan besar terdengar sangat keras. Begitu keras sehingga terdengar sampai 5000 km jauhnya. Efek yang ditimbulkan sangat parah. Pulau di mana Gunung Krakatau berada, tenggelam. Berhari-hari, langit di wilayah Indonesia menjadi gelap tertutup debu vulkanik.
            Bencana alam mengerikan itu menggugah Stacy Garrop, seorang komponis dari Amerika, menciptakan karya musik yang indah berjudul Krakatoa. Karya itu kemudian dimainkan oleh kelompok orkestra Bandung Phillharmonic di Hotel Hilton, Bandung, pada tanggal 27 Januari 2018. Konser bertajuk “Krakatoa” ini, dihadiri oleh ratusan orang penggemar musik klasik. Duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph R. Donovan, juga turut hadir sebagai undangan. Selain Krakatoa, ada empat lagu lainnya yang dimainkan orkestra asal Bandung ini.
            Bagaimana Bandung Phillharmonic menerjemahkan karya Stacy Garrop? Ini dia pengalaman kedua saya menikmati pagelaran musik orkestra. Sebelumnya, saya juga sempat menonton penampilan Bandung Phillharmonic di Gedung Sabilulungan, Soreang, tahun 2017 lalu.

Persiapan Menonton Konser
Dengan memegang tiket reguler seharga Rp. 150.000,00 yang dibeli secara on line, saya merasa cukup beruntung bisa termasuk ke dalam salah satu penonton yang menyaksikan pagelaran musik ini. Menurut jadwal, konser akan dimulai pukul 19.00 sampai 21.00. Biasanya penonton diharapkan hadir satu jam sebelum pertunjukkan untuk melakukan proses registrasi ulang. Setelah proses registrasi selesai, pintu ruangan biasanya akan dibuka setengah jam sebelum acara dimulai. Hal ini dimaksudkan agar para penonton bisa tertib menempati kursi tertentu yang telah disediakan (disesuaikan dengan tipe tiketnya), sehingga acara bisa dimulai tepat waktu.
Pada kenyataannya, pertunjukkan terlambat setengah jam dari jadwal (hal ini juga terjadi di Gedung Sabilulungan). Entah kenapa, para pemegang tiket premium, VIP, dan VVIP, banyak yang tidak disiplin mengikuti aturan main yang sudah baku pada setiap pertunjukkan musik klasik. Sayangnya, panitia juga tak tegas menyikapinyanya. Sangat berbeda ketika saya menonton pertunjukkan musik klasik di IFI (Pusat kebudayaan Prancis) Bandung. Meski hanya merupakan pagelaran musik kecil-kecilan (hanya berupa resital atau ansamble), “Gate” atau pintu ruangan akan langsung ditutup panitia sesuai jadwal. Bagi yang terlambat datang, harus rela menunggu dan baru bisa masuk ke dalam ruangan ketika jeda antar sesi berlangsung, atau ketika lagu pertama usai dimainkan. Aturan ketat seperti itu diberlakukan agar penonton yang sudah lebih dulu datang, tidak terganggu dengan lalu lalang orang terlambat yang sibuk mencari kursi.
Beberapa aturan/etika baku saat menyaksikan pertunjukkan musik klasik : 

1.      Tidak datang terlambat.
2.      Mengenakan pakaian sopan. Beberapa pertunjukkan musik seringkali malah meminta penonton memakai busana formal.
3.      Penonton dilarang membawa makanan dan minuman ke dalam ruangan. Biasanya panitia akan menggeledah tas kita di pintu masuk.
4.      Mengubah setingan telepon genggam menjadi silent. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketenangan saat pertunjukkan berlangsung.
5.      Menonaktifkan flash ketika akan mengambil gambar/memotret, agar para pemain musik tidak terganggu konsentrasinya.
6.      Dilarang merekam. Hal ini berhubungan dengan perlindungan hak cipta.
7.      Bertepuk tangan hanya setelah satu lagu selesai dimainkan. Contoh : jika sebuah lagu terdiri dari 4 bagian, tepuk tangan dilakukan setelah bagian ke-4 selesai dimainkan.
8.      Jika ingin ke toilet atau sekadar ingin menikmati hidangan kecil/minuman, kita bisa memanfaatkan intermisssion atau jeda antara sesi musik. Intermission ini biasanya berlangsung 5 – 10 menit.
(bersambung)


No comments:

Post a Comment