Pada
tahun 1883, Gunung Krakatau, sebuah gunung berapi di Selat Sunda, telah
menorehkan kenangan mengerikan. Sebuah letusan dahsyat mengguncang pulau-pulau
di sekitarnya, sembari memuntahkan lahar, debu, awan panas, dan memicu tsunami.
Puluhan ribu orang meninggal pada saat itu. Ledakan-ledakan besar terdengar
sangat keras. Begitu keras sehingga terdengar sampai 5000 km jauhnya. Efek yang
ditimbulkan sangat parah. Pulau di mana Gunung Krakatau berada, tenggelam.
Berhari-hari, langit di wilayah Indonesia menjadi gelap tertutup debu vulkanik.
Bencana alam mengerikan itu
menggugah Stacy Garrop, seorang komponis dari Amerika, menciptakan karya musik
yang indah berjudul Krakatoa. Karya itu kemudian dimainkan oleh kelompok
orkestra Bandung Phillharmonic di Hotel Hilton, Bandung, pada tanggal 27
Januari 2018. Konser bertajuk “Krakatoa” ini, dihadiri oleh ratusan orang
penggemar musik klasik. Duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph R.
Donovan, juga turut hadir sebagai undangan. Selain Krakatoa, ada empat lagu
lainnya yang dimainkan orkestra asal Bandung ini.
Bagaimana
Bandung Phillharmonic menerjemahkan karya Stacy Garrop? Ini dia pengalaman kedua
saya menikmati pagelaran musik orkestra. Sebelumnya, saya juga sempat menonton
penampilan Bandung Phillharmonic di Gedung Sabilulungan, Soreang, tahun 2017
lalu.
Persiapan
Menonton Konser
Dengan
memegang tiket reguler seharga Rp. 150.000,00 yang dibeli secara on line, saya
merasa cukup beruntung bisa termasuk ke dalam salah satu penonton yang
menyaksikan pagelaran musik ini. Menurut jadwal, konser akan dimulai pukul
19.00 sampai 21.00. Biasanya penonton diharapkan hadir satu jam sebelum
pertunjukkan untuk melakukan proses registrasi ulang. Setelah proses registrasi
selesai, pintu ruangan biasanya akan dibuka setengah jam sebelum acara dimulai.
Hal ini dimaksudkan agar para penonton bisa tertib menempati kursi tertentu
yang telah disediakan (disesuaikan dengan tipe tiketnya), sehingga acara bisa dimulai
tepat waktu.
Pada
kenyataannya, pertunjukkan terlambat setengah jam dari jadwal (hal ini juga
terjadi di Gedung Sabilulungan). Entah kenapa, para pemegang tiket premium,
VIP, dan VVIP, banyak yang tidak disiplin mengikuti aturan main yang sudah baku
pada setiap pertunjukkan musik klasik. Sayangnya, panitia juga tak tegas
menyikapinyanya. Sangat berbeda ketika saya menonton pertunjukkan musik klasik
di IFI (Pusat kebudayaan Prancis) Bandung. Meski hanya merupakan pagelaran
musik kecil-kecilan (hanya berupa resital atau ansamble), “Gate” atau pintu
ruangan akan langsung ditutup panitia sesuai jadwal. Bagi yang terlambat
datang, harus rela menunggu dan baru bisa masuk ke dalam ruangan ketika jeda
antar sesi berlangsung, atau ketika lagu pertama usai dimainkan. Aturan ketat
seperti itu diberlakukan agar penonton yang sudah lebih dulu datang, tidak
terganggu dengan lalu lalang orang terlambat yang sibuk mencari kursi.
Beberapa
aturan/etika baku saat menyaksikan pertunjukkan musik klasik :
1. Tidak
datang terlambat.
2. Mengenakan
pakaian sopan. Beberapa pertunjukkan musik seringkali malah meminta penonton
memakai busana formal.
3. Penonton
dilarang membawa makanan dan minuman ke dalam ruangan. Biasanya panitia akan
menggeledah tas kita di pintu masuk.
4. Mengubah
setingan telepon genggam menjadi silent.
Hal ini bertujuan untuk menjaga ketenangan saat pertunjukkan berlangsung.
5. Menonaktifkan
flash ketika akan mengambil
gambar/memotret, agar para pemain musik tidak terganggu konsentrasinya.
6. Dilarang
merekam. Hal ini berhubungan dengan perlindungan hak cipta.
7. Bertepuk
tangan hanya setelah satu lagu selesai dimainkan. Contoh : jika sebuah lagu
terdiri dari 4 bagian, tepuk tangan dilakukan setelah bagian ke-4 selesai
dimainkan.
8. Jika
ingin ke toilet atau sekadar ingin menikmati hidangan kecil/minuman, kita bisa
memanfaatkan intermisssion atau jeda antara sesi musik. Intermission ini
biasanya berlangsung 5 – 10 menit.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment