Tetesan hujan mengawali pagi pertama saya di
Singapura. Dari balik jendela kamar hotel yang berada di lantai empat, saya
mulai tertarik mengamati keadaan sekitar. Saat itu waktu telah menunjukkan pukul
9.30 pagi, tetapi matahari masih malu-malu menampakkan dirinya. Meski begitu,
telah banyak orang lalu lalang di sekitar Syed Alwi Road. Sebagian besar adalah
warga Singapura keturunan India. Udara dingin dan awan mendung agaknya tak
menyurutkan semangat mereka untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Hotel yang saya tempati memang berada di kawasan
Little India. Di area ini, saya merasakan suasana yang sedikit berbeda, seperti
bukan berada di Singapura yang notabene mayoritas bermata sipit. Sesuai
namanya, kawasan Little India merupakan area yang ditempati oleh sebagian besar
masyarakat Singapura keturunan India untuk tinggal, beribadah dan beraktivitas.
Berdasarkan profil data kependudukan tahun 2012, warga
keturunan India diketahui menguasai 7,9% dari populasi total warga
Singapura. Sedangkan populasi warga negara keturunan China/Tionghoa sebanyak 77%,
Melayu 14%, dan lain-lain 1,4%.
Pada kesempatan wisata kali ini, saya melancong tak
sendiri. Saya dan suami mengajak anak dan janin dalam kandungan untuk berwisata
selama 3 hari 2 malam di Singapura. Tujuan utama sebenarnya mengajak anak saya
ke Universal Studio yang terletak di pulau Sentosa. Tetapi saya sengaja memilih
tempat menginap di kawasan Little India dengan alasan ingin melihat dari dekat
bagaimana orang-orang India beraktivitas, tanpa perlu pergi ke Negara India.
Lagipula saya juga ingin mencoba beberapa kuliner ala India. Saya ingin wisata
singkat ke Singapura ini bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Sungguh menarik berada lebih dekat dengan komunitas
orang India. Di Indonesia, terutama di Bandung, jarang sekali saya temui
pemandangan orang-orang India yang lalu lalang memakai pakaian khas mereka. Hal
itu sangat berbeda dengan apa yang saya temui di kawasan Little India ini. Bangunan-bangunan yang banyak dilengkapi
tulisan India juga semakin mewarnai suasana ala negeri Bolywood.
 |
Pemandangan di depan hotel Arianna, pusat perbelanjaan Mustafa
|
 |
@Universal Studio. Mamah-mamah India berkain sari |
Bangsa Inggris lah yang memegang peranan penting dalam
proses migrasi orang-orang India dari negeri asalnya ke negara Singapura.
Sebagai negara penjajah India dan Singapura, sekitar tahun 1819, bangsa Inggris
membawa orang-orang India itu sebagai tahanan, pekerja, atau tentara. Populasi
orang India tersebut kebanyakan pria usia produktif. Baru sekitar pertengahan
abad 20, populasi tersebut mulai berkembang dan memunculkan rasio gender yang
lebih seimbang, serta rentang usia yang lebih bervariasi.
Di negeri Singa ini, etnis India hidup berbaur dengan
etnis lainnya. Mereka bebas beraktivitas tanpa perlu melepaskan atribut dan simbol-simbol
khas budaya India. Begitu banyak perempuan keturunan India yang berjalan-jalan
di tempat umum menggunakan kain sari, lengkap dengan tanda merah di dahi. Beberapa pria tak ragu memakai turban (pagri)
ala india. Sementara ada pula pria yang mengecat kulit kepala mereka yang
plontos dengan warna kuning dan tanda kuning di dahinya. Cukup kontras dengan
warna kulitnya yang rata-rata berwarna gelap.
Pada umumnya, orang-orang India tersebut diketahui
beragama Hindu. Hal itu terlihat dari busana serta atribut yang mereka pakai.
Pakaian itu mencirikan simbol-simbol khas agama Hindu. Begitu pula warna-warna
merah dan kuning di dahi, yang memiliki filosofinya sendiri. Tetapi kemudian
saya juga menemukan banyak perempuan India yang yang memakai jilbab. Ternyata data
statistik menunjukkan bahwa orang India di Singapura juga banyak yang memeluk
agama Islam. Sekitar 17 % dari total
masyarakat Singapura pemeluk agama Islam
adalah berasal dari etnis India.
Pemerintah Singapura agaknya memang mengakui dan
menghormati keberadaan etnis India ini. Kita dengan mudah akan menemukan
sejumlah aksara Tamil di berbagai tempat umum atau transportasi publik seperti
di dalam stasiun dan gerbong-gerbong MRT (Mass Rapid Transit). Tulisan tersebut
berdampingan dengan tulisan berbahasa Inggris, Cina dan Melayu.
 |
Aksara Tamil di kawasan MRT |
Kawasan Little India terletak di sebelah timur sungai
Singapura, di seberang China Town, dan sebelah utara Kampong Glam. Tepatnya
terletak di dekat Serangoon Road, sebuah kawasan fenomenal yang belum lama ini
diabadikan dalam sebuah judul film “Serangoon Road”. Kawasan Little India dapat
dicapai setidaknya melalui stasiun MRT Little India dan stasiun Farrer Park.
Naik MRT merupakan pilihan transportasi yang cukup
murah dan mudah dibandingkan menggunakan bus dan taksi. Dengan mengeluarkan
biaya rata-rata 1,5 – 3SGD per orang untuk sekali perjalanan (1SGD sekitar Rp
8000,00), kita dapat mencapai area yang dituju dengan waktu yang cukup singkat.
Apalagi stasiun-stasiun MRT ini tersebar di setiap sudut kota Singapura, dengan
jarak yang cukup berdekatan. Jadi, turis
seperti saya merasa sangat terbantu karena tak perlu jalan kaki teralu jauh
untuk mencapainya.
Satu hal penting yang perlu diingat adalah jangan
pernah melupakan arah pintu keluar terdekat kalau tidak ingin berjalan
berputar-putar mencari lokasi yang dituju. Hal itu karena rata-rata pintu
keluar dari setiap stasiun MRT menuju jalan-jalan raya terdekat, terdiri dari
pintu A-I. Pengalaman lupa itu sempat saya alami karena masih merasa asing
dengan kondisi jalan di Singapura. Saat itu, sepotong peta kota pun tak mampu
membantu banyak karena peristiwa itu terjadi di malam hari.
Secara umum, biaya wisata di Singapura memang tampak
lebih mahal dibandingkan wisata ke negara-negara di Asia tenggara lainnya.
Standar tarif hotel bintang 2 seperti hotel Arianna yang saya tempati, bisa
menghabiskan dana Rp 600.000,00 per malam. Fasilitas yang diperoleh yaitu kamar
sederhana berukuran kurang lebih 3 x 4 m2, AC, wifi gratis, dan TV
kabel. Jika kita tak membawa serta keluarga, kita bisa memilih hotel lain
dengan konsep “dormitory” (satu kamar terdiri dari beberapa tempat tidur
bertingkat, dengan kamar mandi terpisah). Tarifnya hanya menghabiskan Rp
300.000,00 – 400.000,00 per malam. Resikonya, kita harus mau berbagi kamar
dengan para pelancong lain.
Hotel Arianna tempat saya menginap terletak di Syed
Alwi Road. Hotel itu berada tepat di seberang pusat pertokoan Mustafa Center
yang selalu buka selama 24 jam. Untuk dapat mencapai hotel ini dari bandara,
saya harus naik MRT dari stasiun Changi, menuju stasiun MRT Farrer Park. Dari
stasiun Farrer Park, saya menuju hotel dengan jalan kaki santai selama 5 – 10
menit saja.
Pusat perbelanjaan Mustafa Center cukup besar dan
luas. Toko ini menghabiskan area lebih dari 2 blok di sepanjang jalan Syed
Alwi. Mustafa Center adalah toko serba ada yang menjual berbagai macam
kebutuhan sehari-hari. Mulai dari jam, perhiasan, sepatu, aksesoris, handphone,
barang elektronik, barang pecah belah, parfum, obat-obatan, tas, koper,
pakaian, sampai suvenir. Pernak-pernik dan rempah-rempah ala India juga bisa
didapatkan di sini. Harga-harganya pun cukup ramah di kantong.
Khusus untuk membeli suvenir, saya lebih suka mampir
ke toko-toko kecil di sepanjang jalan Syed Alwi yang memasang plang “3 for 10”
atau “5 for 10”. Artinya kita bisa memilih dan mendapatkan 3 – 5 jenis suvenir
yang diinginkan dengan hanya membayar 10SGD. Barang-barangnya pun tak jauh
berbeda dengan yang ada di Mustafa Center. Berdasarkan pengamatan lebih lanjut,
toko-toko jenis ini juga tampak tersebar di seluruh penjuru kota.
Setelah puas berkeliling kota Singapura, malam
terakhir saya sempatkan untuk mencicipi makanan ala India. Pilihan jatuh pada salah
satu restoran India di Syed Alwi road yang tampak penuh dengan orang-orang
India. Saya tergoda untuk mencoba paket Nasi Biryani dengan harga sekitar 6SGD.
Saat itulah saya baru menyadari jika lidah saya ternyata kurang cocok menerima masakan
asli India. Aroma rempah kari yang begitu kuat masih terasa sangat asing. Porsinya
pun sangat banyak, cukup untuk 2-3 orang. Jika kita ingin mencoba menu lain yang
sedikit lebih “ringan” dari segi rasa dan porsinya, kita bisa memesan paket
roti Naan atau roti Chapati dengan harga
3 – 4SGD.
 |
biryani set |
Hari terakhir di Singapura masih bisa saya manfaatkan
untuk mengunjungi salah satu kuil yang letaknya tak jauh dari hotel. Sebuah
kuil tua bernama Sri Srinivasa Perumal yang biasa digunakan sebagai tempat
beribadah dan perayaan keagaamaan orang-orang India di Singapura. Kita
diperbolehkan masuk secara gratis untuk mengamati mereka melakukan ibadah
rutinnya.
Saya merasa beruntung memilih menginap di area eksotik
seperti kawasan Little India ini. Sungguh puas rasanya jika berwisata di
Singapura tak hanya sekedar bersenang-senang di tempat hiburan anak-anak.
Tetapi juga dapat mempelajari dan mengamati budaya serta kebiasaan orang India
di negeri Singa ini. Ibarat sambil menyelam minum air.***
note: Sebuah tulisan lama. Pernah dimuat di harian umum Pikiran Rakyat tahun 2013.